PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL
PESERTA DIDIK
MAKALAH
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat
selesai tepat waktu sebagai salah satu tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik. Tugas ini adalah salah satu perwujudan hasil kerja
keras kami dalam melaksanakan tugas Semester empat ini yang
akan membantu dalam meningkatkan pemahaman terhadap materi Perkembangan Peserta Didik. Makalah ini disusun sejalan dengan pengarahan guru pembimbing yang penulisannya ditetapkan dalam panduan
penulisan karya ilmiah.
Tidak sedikit kesulitan yang kami hadapi. Namun berkat
bantuan berbagai pihak, makalah ini akhirnya dapat diselesaikan. Sehubungan dengan hal ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1.
Ibu Dahlia
sebagai pembimbing dalam mata kuliah Perkembangan
Peserta Didik.
2.
Orang tua dan teman-teman,
serta pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Kami juga menyadari akan segala kekeliruan dan
kekurangan dalam makalah ini, sehingga dengan tangan terbuka kami menerima
masukan baik berupa saran ataupun kritikan guna mendapatkan makalah yang lebih
sempurna nantinya.
Semoga makalah kelompok kami ini bermanfaat bagi para
pejuang ilmu, Amin.
Malang, Maret 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan, dimana aspek
yang menjadi subjek sekaligus objek yang penting dalam hal ini adalah peserta
didik. Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun
mendidik disini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai dengan
norma hukum dan agama. Setiap
peserta didik bersifat khas dan unik karena setiap peserta didik berbeda-beda.
Dalam pendidikan
dan pembelajaran diperlukan suatu pengetahuan akan perkembangan-perkembangan
yang terjadi pada peserta didik. Dimana aspek-aspek perkembangan peserta didik
cukup banyak seperti perkembangan fisik, perkembangan intelektual, perkembangan
moral, perkembangan spiritual atau kesadaran beragama dal lain sebagainya. Setiap
aspek-aspek tersebut dapat dikaji berdasarkan fase-fasenya untuk membantu dalam
memahami cara belajar dan tentunya sikap maupun tingkah laku peserta didik.
Selain itu, aspek pembelajaran yang diberikan kepada para peserta didik juga
berupa pendidikan moral dan spirituall untuk membentuk pribadi-pribadi yang
sesuai dengan harapan bangsa yang dituliskan pada tujuan pendidikan bangsa
Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, terbentuk beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
·
Apa yang dimaksud
dengan perkembangan moral dan
spiritual?
·
Apa teori-teori yang
mendasari perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik?
·
Bagaimana proses
perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik?
·
Apa faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik?
·
Bagaimana implikasi
atau dampak perkembangan moral dan spiritual peserta didik terhadap pendidikan?
C.
Tujuan
·
Untuk mengetahui pengertian
perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik.
·
Untuk mengetahui teori-teori
yang mendasari perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik.
·
Untuk mengetahui proses
perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik.
·
Untuk memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral dan spiritual.
·
Untuk mengetahui dan
memahami dampak dari perkembangan moral dan spiritual peserta didik terhadap
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Perkembangan Moral dan
Spiritual Peserta Didik
Secara etimologi istilah moral berasal
dari bahasa Latin mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku,
kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak). Sedangkan
moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai
dan prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral ini antara lain, seruan untuk
berbuat baik kepada orang lain, atau larangan untuk tidak berbuat kejahatan
kepada orang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa moral merupakan tingkah laku
manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat.
Seseorang dikatakan bermoral apabila ia
mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang ditunjukkan melalui tingkah lakunya
yang sesuai dengan adat dan sopan santun. Sebaliknya seseorang dikatakan
memiliki perilaku tak bermoral apabila perilakunya tidak sesuai dengan harapan
sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang
adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Selain itu ada perilaku amoral atau
nonmoral yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang
lebih disebabkan karena ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari
pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
Perkembangan moral adalah perkembangan
yang berkaitan dengan aturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock, 2002). Perkembangan
moral juga merupakan perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan
anak berkenaan dengan tata cara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang
berlaku dalam kelompok sosial. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral
(imoral) akan tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk
dikembangkan. Melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (orang tua,
saudara, teman sebaya atau guru), anak belajar memahami tingkah laku mana yang
buruk atau tidak boleh dilakukan dan mana yang baik atau boleh dilakukan
sehingga terjadi perkembangan moral anak tersebut.
Pengertian
Spiritual dan Perkembangan Spiritual
Spiritual berasal dari bahasa latin
“spiritus” yang berarti nafas atau udara, spirit memberikan hidup, menjiwai
seseorang. Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau
mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Konsep kepercayaan
mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai kultur atau
budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha, dan lain-lain.
Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang mempunyai wewenang atau kuasaa,
sesuatu perasaan yang memberikan alasan tentang keyakinan (believe) dan
keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope).
Definisi spiritual setiap individu
dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan
ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang
berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara diri sendiri), interpersonal
(hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan transpersonal (hubungan yang
tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan ketuhanan yang merupakan
kekuatan tertinggi). Jadi spiritual merupakan kepercayaan peserta didik
terhadap suatu keyakinan yang didasarkan pada adat istiadat maupun ketuhanan.
Perkembangan
spiritual lebih spesifik membahas tentang kebutuhan manusia terhadap agama.
Agama adalah sebagai sistem organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana
seseorang bisa mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah mengenai
spiritualitasnya. Perkembangan spiritual diartikan sebagai tahap dimana
seseorang yang dalam hal ini adalah peserta didik untuk membentuk
kepercayaannya. Baik berupa kepercayaan yang berhubungan dengan religi maupun
adat.
B. Teori-Teori
dari Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Teori
perkembangan moral
Kohlberg mengembangkan gagasannya
mengenai perkembangan moral melalui penelitian terhadap individu-individu dari
berbagai usia. Terhadap setiap orang, ia mengajukan ceritera dan disertai
dengan pertanyaan-pertanyaan terhadap ceritera tersebut. Mengenai perkembangan
moral, dia yakin bahwa perkembangan yang baik terjadi manakala perilaku manusia
mengalami perubahan-perubahan dari perilaku yang dikontrol secara internal oleh
si pelaku moral. Ketiga tingkatan tersebut adalah penalaran prakonvensional,
penalaran konvensional, dan penalaran postkonvensional.
Penalaran prakonvensional
Pada tingkatan terendah ini individu
tidak menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai moral-penalaran moral
dikendalikan oleh faktor internal, yakni hadiah, pujian, tepukan bahu, atau
sebaliknya berupa cacian, makian, kritik, hukuman. Pada tingkatan yang paling
dasar ini dipilah menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap
1: punishment and obedience orientation.
Pada tahap orientasi hukuman dan kepatuhan ini pemikiran moral didasarkan pada
hukuman. Contohnya, seorang menjadi berperilaku patuh karena takut kalau-kalau
hukuman menimpa dirinya.
Tahap
2: Individualism and purpose. Pada
tahap ini perkembangan moral lebih berdasar pada hadiah dan minat pribadi anak
atau remaja. Anak atau remaja menjadi patuh karena dia berharap akan
mendapatkan sesuatu yang menyenangkan setelah dia menjalankan perilaku patuh.
Penalaran
konvensional
Pada
tingkatan ini individu melakukan kepatuhan berdasarkan standar pribadi yang
diperoleh atau yang diinternalisasi dari lingkungan ata orang lain. Pada
tingkatan kedua ini dipilah menjadi dua tahap:
Tahap
3: Interpersonal norm. Pada tahap
norma interpersonal ini, anak beranggapan bahwa rasa percaya, rasa kasih sayang
, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian
terhadap perilaku moral. Agar anak dikatakan sebagai anak yang baik, maka anak
mengambil standar moral yang diberlakukan oleh orang tuanya. Dengan demikian,
hubungan antara anak dan orang tua tetap terjaga dalam suasana penuh kasih
sayang.
Tahap
4: social system morality. Pada tahap
keempat ini ukuran moralitas didasarkan pada sistem sosial yang berlaku saat
itu. Artinya, kehidupan masyrakat didasarkan pada aturan hukum yang dibuat
dengan maksud melindungi semua warga di dalam komunitas tertentu. Jadi pada
tahap perkembangan moral didasrkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum,
keadilan, dan tugas sosial kemasyarakatan.
Penalaran
postkonvensional
Tingkatan
tertinggi dari perkembangan moral adalah diinternalisasikannya standar moral
sepenuhnya dalam diri individu tanpa didasarkan pada standar orang lain. Pada
tingkatan tertinggi ini dibagi menjadi dua tahap:
Tahap
5: community rights vs individual rights.
Pada tahap ini, perkembangan moral mengarah ke pemahaman bahwa nilai dan hukum
bersifat relatif. Sementara itu nilai yang dimiliki orang satu berbeda dari
orang yang lainnya.
Tahap
6: Universal ethical principles. Tahapan
tertinggi dari perkembangan moral adalah seseorang sudah mampu membentuk
standar moral sendiri berdasar pada hak-hak manusia yang bersifat universal.
Walaupun mengandung resiko, orang pada tahap ini berani mengambil suatu
tindakan berdasar kata hatinya sendiri, bahkan bertentangan dengan hukum
sekalipun.
Teori
perkembangan spiritual.
Perkembangan
spiritual didasarkan pada ayat-ayat alquran dan hadist yang menjelaskan tentang
fitrah beragama. Dalam perkembangannya, firtrah beragama ini ada yang berjalan
secara alamiah dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para rasul Allah SWT,
sehingga fitrahnya itu berkembang sesuai kehendak Allah SWT. Keyakinan bahwa
manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan didasarkan pada
firman Allah:
1.
Surat Al-‘araf ayat 172
yang artinya:
“dan
ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
‘bukankah aku ini tuhanmu?’ mereka menjawab: ‘betul (engkau tuhan kami). Kami
menjadi saksi (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat tidak
mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan tuhan).”
2.
Surat ar-rum ayat 30,
yang artinya:
“maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama allah, (tetaplah atas) fitrah
allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Ituah agam lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”
3.
Surat Asy-syamsu ayat 8
yang artinya:
“maka
allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya.”
Fitrah beragama ini merupakan disposisi
(kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang.
Namun, mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama anak sangat bergantung
kepada proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini sebagaimana yang telah
dinyatakan oleh nabi Muhammad Saw: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah, hanya karena keadaan orangtuanyalah, anak itu menjadi yahudi, nasrani
atau majusi.” Hadis ini mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama
orangtua) sangat berperan dalam mempengaruhi perkembangan fitrah keberagamaan
anak. Jiwa beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan
dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan ke dalam peribadatan
kepada-Nya, baik yang bersifat habluminallah dan hablumminannas.
C. Proses
Perkembangan Moral dan Spiritual pada Peserta Didik
Setiap aspek perkembangan peserta didik memiliki tahapan
atau proses hingga mencapai suatu tahapan atau tingkatan yang matang. Perkembangan
moral pada peserta didik dapat berlangsung melalui beberapa cara yaitu,
1. Pendidikan
langsung, melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan
salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya.
Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral ini, adalah
keteladanan dari orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan
nilai-nilai moral.
2. Identifikasi,
dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral
seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, artis atau orang
dewasa lainnya).
3. Proses
coba-coba (trial & error), dengan cara mengembangkan tingkah laku moral
secara coba-coba. Jika tingkah laku tersebut mendatangkan pujian atau
penghargaan maka akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang
mendatangkan hukuman atau celaan maka akan dihentikan. (Yusuf, 2011).
Selain itu, berdasarkan hasil penyelidikan Kohlberg
mengemukakan 6 tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal
dan dalam urutan tertentu. Masing-masing tingkat terdiri dari 2 tahap, sehingga
keseluruhan ada 6 tahapan yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang
tetap. Dalam stadium nol, anak menganggap baik apa yang sesuai dengan
permintaan dan keinginannya.
Ada 3 tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu
tingkat :
1.
Prakonvensional,
Pada
stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik
atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa
aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat.
Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada
stadium 2, berlaku prinsip Relaivistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak
tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya,
atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian
mempunyai berbagai segi. Jadi, ada Relativisme. Relativisme ini artinya
bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan sesorang. Misalnya mencuri kambing
karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk memenuhi kebutuhanya, maka
mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri
itu diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
2.
Konvensional
Stadium 3, meliputi orientasi mengenai anak yang baik.
Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak
memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang
lain dan masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan sesorang
baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium
ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial
dari otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang
bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan
bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma sosial.
Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan
yang ada, agar tidak timbul kekacauan (Baharuddin, 2009).
3.
Pasca-konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian
antara dirinya dengan lingkungan sosial, pada stadium ini ada hubungan timbal
balik antara dirinya dengan lingkungan sosial,atau dengan masyarakat. Seseorang
harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma
sosial kerena sebaiknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan
perlindungan kepadanya.
Stadium 6, tahap ini disebut prinsip universal. Pada
tahap ini ada norma etik disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan
dan perjanjian antara seseorang ada unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik
atau tidak. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh dan baik
dilakukan atau sebaliknya (Baharuddin, 2009). Menurut Furter (1965), menjadi
remaja berarti mengerti nila-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti
hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat
menjelaskanya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah
dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikanya sebagai
nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini akan
tercemin dalam sikap dan tingkah lakunya.
D. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Berbagai aspek perkembangan pada peserta
didik dipengaruhi oleh interaksi atau gabungan dari pengruh internal dan faktor
eksternal. Begitu pula dengan perkembangan moral dan spiritual dari peserta
didik. Meskipun kedua aspek perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan internal yang hampir sama tetapi kadar atau bentuk pengaruhnya
berbeda.
Pada perkembangan moral peserta didik
faktor internal meliputi faktor genetis atau pengaruh sifat-sifat bawaan yang
ada pada diri peserta didik. Selanjutnya sifat-sifat yang mendasari adanya
perkembangan moral dikembangkan atau dibentuk oleh lingkungan. Peserta didik
akan mulai melihat dan memasukkan nilai-nilai yang ada di lingkubgan sekitarnya
baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat yang dapat meliputi para
tetua yang mungkin menjadi teladan di masyarakat, para tetangga, teman maupun
guru yang ada di lingkungan sekolah. Semua aspek di atas memiliki peran yang
penting dalam perkembangan moral peserta didik yang kadarnya tau besarnya
pengaruh bergantung pada usia atau kebiasaan dari peserta didik itu sendiri
(Baharuddin, 2011).
Meskipun faktor eksternal
memiliki pengaruh yang cukup besar pada perkembangan moral peserta didik,
peserta didik tetap mampu menentukan hal-hal atau nilai-nilai yang akan dianut
atau digunakan sebagai pembentuk jati diri. Hal tersebut tentunya dipengaruhi
oleh pengetahuan peserta didik akan nilai-nilai moral yang tenyunya pertama
kali akan dilihat dari sosok atau jati diri orang tua. Meskipun terkadang orang
tua tidak secara formal memberikan nilai-nilai moral tersebut, peserta didik
tetap mampu menginternalisasi atau memasukkan nilai-nilai tersebut ke dalam
jati dirinya yang diwujudkan dengan sikap dan tingkah laku peserta didik. Oleh
karena itu, para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran
penting dalam pembentukan moral. Dimana dalam usaha membentuk tingkah laku
sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu tersebut, banyak faktor yang
mempengaruhinya diantaranya yaitu:
1. Tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2. Banyak model
(orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang yang terkenal dan
hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran ideal.
3. Lingkungan meliputi segala
segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting
adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi
oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
4. Tingkat penalaran,
dimana perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, dipengaruhi
oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi
tingkat penalaran seseorang menrut tahap-tahap perkembangan piaget, makin
tinggi pula tingkat moral seseorang.
5. Interaksi sosial
dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standart
perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan
dengan orang lain (Yusuf, 2011)
Perkembangan spiritual juga dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal pula. Faktor internal pada perkembangan
spiritual juga berupa faktor keturunan yaitu berupa pembawaan dimana faktor ini merupakan karakteristik dari
orang itu sendiri, dasar pemikiran dari individu berdasarkan kepercayaan dan
budaya yang dimilikinya. Faktor eksternal dapat berupa keluarga yang sangat
menentukan pula dalam perkembangan spiritual anak karena orang tua memiliki
peran yang sangat penting sebagai pendidik atau penentu keyakinan yang
mendasari anak. Kemudian pendidikan keagamaan yang diterapkan di sekolah juga
dapat menjadi faktor penentu perkembangan spiritual anak, karena dengan adanya
pendidikan anak akan mulai berpikir secara logika dan menentukan apa yang baik
dan tidak bagi dirinya dan kelak akan menjadi karakter dari peserta didik. Selain
itu, adanya budaya yang berkembang di masyarakat akan mempengaruhi perkembangan
spiritual peserta didik pula. Baik perkembangan yang menuju arah yang baik
(positif) atau menuju ke arah yang buruk
(negatif), itu semua tergantung pada bagaimana cara anak berinteraksi dengan
masyarakat tersebut (Baharuddin, 2009).
E. Dampak
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik pada Pendidikan
Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya.
Ketika individu memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua
belas tahun, individu tersebut disebut sebagai peserta didik yang akan
berhubungan dengan proses pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.
Cara pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan perkembangan
anak, yakni memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun
secara fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak;
(2) tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui
banyak aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber
belajar sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan
berbagai proses perkembangannya (Syamsuddin, 2007).
Aspek-aspek perkembangan peserta didik yang berimplikasi terhadap
proses pendidikan melalui karakteristik perkembangan moral dan religi akan
diuraikan seperti di bawah ini.
1. Implikasi
Perkembangan Moral
Purwanto (2006) berpendapat bahwa moral
bukan hanya memiliki arti bertingkah laku sopan santun, bertindak dengan lemah
lembut, dan berbakti kepada orang tua saja, melainkan lebih luas lagi dari itu.
Selalu berkata jujur, bertindak konsekuen, bertanggung jawab, cinta bangsa dan
sesama manusia, mengabdi kepada rakyat dan negara, berkemauan keras,
berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk pula ke dalam moral yang perlu
dikembangkan dan ditanamkan dalam hati sanubari anak-anak. Adapun perkembangan
moral menurut Santrock yaitu perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai
hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
(Desmita, 2008).
Perkembangan moral anak dapat berlangsung
melalui beberapa cara, salah satunya melalui pendidikan langsung. Pendidikan
langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang
benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua dan gurunya. Selanjutnya pada usia
sekolah dasar anak sudah dapat mengikuti tuntutan dari orang tua atau
lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak dapat memahami alasan yang
mendasari suatu bentuk perilaku dengan konsep baik-buruk. Misalnya, dia
memandang bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua
merupakan suatu hal yang buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap
hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang baik. (Yusuf, 2011).
Selain itu berdasarkan teori Piaget
(Hurlock, 1980) memaparkan bahwa pada usia lima sampai dengan dua belas tahun
konsep anak mengenai moral sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras
tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan
anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral.
Misalnya bagi anak usia lima tahun, berbohong selalu buruk. Sedangkan anak yang
lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan. Oleh
karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Selain lingkungan keluarga, lingkungan
pendidikan juga menjadi sarana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan
moral peserta didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai
kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam
pengembangan moral dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan
moral di kelas hendaknya dihubungkan dengan kehidupan yang ada di luar
kelas. Dengan demikian, pembinaan perkembangan moral peserta didik sangat
penting karena percuma saja jika mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orang
yang berilmu pengetahuan, tetapi jiwa dan wataknya tidak dibangun dan dibina
(Hartono, 2002).
2. Implikasi
Perkembangan Spiritual
Anak-anak sebenarnya telah memiliki
dasar-dasar kemampuan spiritual yang dibawanya sejak lahir. Untuk mengembangkan
kemampuan ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena
itu, untuk melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi dibutuhkan pendidikan yang
tidak hanya berorientasi pada perkembangan aspek IQ saja, melainkan EQ dan SQ
juga.
Zohar dan Marshall (Desmita, 2008) pertama
kali meneliti secara ilmiah tentang kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan
untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yang menempatkan
perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Purwanto (2006) mengemukakan bahwa
pendidikan yang dilakukan terhadap manusia berbeda dengan “pendidikan” yang
dilakukan terhadap binatang. Menurutnya, pendidikan pada manusia tidak terletak
pada perkembangan biologis saja, yaitu yang berhubungan dengan perkembangan
jasmani. Akan tetapi, pendidikan pada manusia harus diperhitungkan pula
perkembangan rohaninya. Itulah kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah SWT
sebagai tuhan semesta alam, yaitu dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan)
untuk mengenal penciptanya, yang membedakan antara manusia dengan binatang.
Fitrah ini berkaitan dengan aspek spiritual.
Perkembangan spiritual membawa banyak
implikasi terhadap pendidikan dan diharapkan muncul manusia yang benar-benar
utuh dari lembaga-lembaga pendidikan. Untuk itu, pendidikan agama nampaknya
harus tetap dipertahankan sebagai bagian penting dari program-program
pendidikan yang diberikan di sekolah dasar. Tanpa melalui pendidikan agama,
mustahil SQ dapat berkembang baik dalam diri peserta didik (AKBIN, 2010).
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa,
1. Moral merupakan tingkah laku
manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Spiritual merupakan kepercayaan peserta didik
terhadap suatu keyakinan yang didasarkan pada adat istiadat maupun ketuhanan.
2. Teori
perkembangan moral menurut Kohlberg terdapat tiga tingkatan yaitu penalaran
prakonvensional, konvensional, dan postkonvensional. Setiap tingkatan dibagi
menjadi dua tahap. Teori
perkembangan spiritual didasarkan pada ayat-ayat alquran dan hadits yang
menjelaskan tentang fitrah beragama.
3.
Tahapan perkembangan moral
4.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral dan spiritual meliputi faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor
internal meliputi sifat atau pembawaan dari diri sendiri, dalam
perkembangan moral berupa sifat-sifat yang diturunkan dan pada perkembangan
spiritual berupa keyakinan. Faktor eksternal meliput keluarga, masyarakat sekitar,
sekolah, dan tentunya budaya.
5.
DAFTAR RUJUKAN
Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi
Perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Baharuddin. 2009. Psikologi Pendidikan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Desmita. 2010. PSikologi Perkembangan
Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Hartono, Agung. 2002. Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: Rineka Cipta
Pengurus Besar Asosisi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN). 2010. Jurnal Bimbingan dan Konseling ISSN
1411-5026. Bandung: AKBIN
Syamsuddin, Abin. 2007. Psikologi
Kependidikan. Bandung: Rosda Karya
Yusuf, Syamsu. 2011. Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: Rajawali Pers
Hurlock,
Elisabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Diterjemahan oleh Istiwidayanti, dkk. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Santrock,
J. W. 2002. Life-Span Development. Perkembangan Masa Hidup.
Diterjemahkan oleh Juda Damanik, Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga
Triyono,
dkk. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Malang: FIP UM
terimakasih, sangat membantu.
BalasHapus