Pengaruh Jeda Waktu
Kopulasi dan Macam Strain terhadap Keberhasilan Kawin Kembali Betina Drosophila
Melanogaster Strain ro, e dan tx
LAPORAN PROYEK
Disusun
untuk memenuhi tugas Genetika II
yang
dibina oleh Prof. Dr. Duran Corebima Aloysius, M.Pd.
Disusun
Oleh:
Kelompok
13 OFF B
Genetika Hari Kamis
Afif Saifudin 120341421993
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN
BIOLOGI
November 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak.
Perkembangbiakan adalah kemampuan makhluk hidup untuk menghasilkan individu
baru yang sifatnya sama atau menyerupai induknya. Tujuan perkembangbiakan
adalah untuk menghasilkan keturunan sehingga dapat melestarikan jenisnya. Perkembangbiakan terutama pada hewan pada
umumnya dapat terjadi secara seksual maupun aseksual. Perkembangbiakan aseksual
masih ditemukan pada hewan tingkat rendah namun pada hewan tingkat tinggi hanya
ditemukan perkembangbiakan seksual dimana ada perkawinan antara individu jantan
dan individu betina yang sejenis atau satu spesies.
Drosophila melanogaster adalah salah satu jenis lalat buah yang banyak
ditemukan di lingkungan sekitar. Jumlah Drosophila
yang melimpah di lingkungan karena spesies ini mudah sekali dalam
berkembang biak. Perkembangbiakan Drosophila
melanogaster dilakukan secara seksual yaitu dimana terjadi perkawinan
antara individu jantan dan betina. Perkawinan dapat terjadi jika individu jantan dan individu betina
telah mencapai kedewasaan secara seksual. Hal ini ditandai dengan kemampuan
individu jantan untuk menghasilkan sperma dan individu betina untuk
menghasilkan oosit sekunder yang
apabila terjadi fertilisasi akan terbentuk ovum yang berkembang menjadi zigot. Pada umur dua hari, individu jantan dan betina sudah dapat
melakukan perkawinan untuk yang pertama kali, karena menurut (Kiptiyah,
1998), individu betina akan mencapai keadaan yang reseptif secara maksimal pada
umur 48 jam setelah menetas. Namun demikian yang paling menentukan apakah akan terjadi perkawinan
atau tidak adalah individu betina. Hal ini dikarenakan adanya faktor yang
berpengaruh baik faktor internal maupun faktor eksternal (Markow, 1988).
Daya reseptivitas seksual pada betina menawarkan model yang sangat baik
untuk keputusan perilaku yang kompleks. Betina dapat memutuskan apakah akan
berkopulasi atau tidak dengan cara menangkap sinyal dari jantan maupun dari
lingkungan. Dalam lalat Drosophila melanogaster,
reseptivitas betina telah menerima perhatian yang relatif sedikit, dan komponen
rangkaian saraf dan tingkah laku individu tetap belum dipetakan (Bussel, dkk,
2014)
Perkawinan kembali betina merupakan komponen penting dari sistem
perkawinan Drosophila karena betina menyimpan sejumlah besar sperma setelah
kawin di sepasang spermathecae berbentuk bulat dan reseptakulum semilunaris
yang memanjang (Pitnick dkk, 1999) Faktor eksternal yang
berpengaruh antara lain adalah faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban,
dan yang sangat penting adalah sinyal yang dikeluarkan oleh individu jantan
selama pacaran. Faktor internal yang berpengaruh antara lain yaitu kematangan
seksual dan status kawin individu betina. Kemampuan betina untuk melakukan
perkawinan akan meningkat seiring pertambahan umurnya setelah penetasan dan
akan berkurang setelah mencapai titik puncak kemampuan kawinnya (Chapman, 2013). Namun individu betina tetap dapat melakukan lebih dari satu
perkawinan. Kemampuan yang dimiliki individu betina ini disebut daya reseptivitas atau kemampuan untuk dapat kawin kembali. Kemampuan untuk dapat kawin
kembali ini juga dipengaruhi beberapa faktor seperti lama jeda waktu untuk
terjadinya kopulasi berikutnya, macam strain dari Drosophila melanogaster maupun faktor dari individu jantan.
Berdasarkan hal tersebut, proyek yang berjudul “Pengaruh Jeda Waktu Kopulasi Dan Macam Strain Terhadap
Keberhasilan Kawin Kembali Betina Pada Drosophila
melanogaster strain ro, e, dan tx” ini
penting untuk dilakukan guna mengetahui pengaruh antara macam strain Drosophila melanogaster dan jeda waktu untuk terjadinya kopulasi
berikutnya terhadap kemampuan untuk kawin kembali pada individu betina Drosophila
melanogaster.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah ada pengaruh jeda kopulasi terhadap kemampuan kawin kembali
Drosophila melanogaster betina strain
ro, e, dan tx?
2. Apakah ada pengaruh macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina?
3. Apakah ada interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain ro,
e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengaruh jeda kopulasi terhadap kemampuan kawin
kembali Drosophila melanogaster betina
strain ro, e, dan tx.
2. Untuk mengetahui pengaruh macam strain ro, e, dan tx
terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila
melanogaster betina.
3. Untuk mengetahui interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain ro,
e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Menambah
pengetahuan mengenai daya reseptivitas betina Drosophila melanogaster pada perkawinan kedua.
2. Meningkatkan
pemahaman, ketrampilan, kecermatan, serta ketelitian peneliti dalam melakukan
kegiatan praktikum atau penelitian tentang daya reseptivitas betina Drosophila melanogaster pada perkawinan
kedua.
3. Memberikan
informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi jeda waktu yang dibutuhkan
oleh Drosophila melanogaster betina
untuk melakukan perkawinan kembali
E. Asumsi
Penelitian
Asumsi pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Semua
aspek biologi Drosophila melanogaster
yang digunakan pada penelitian ini dianggap sama kecuali warna tubuh dan bentuk
sayap.
2. Faktor
internal Drosophila melanogaster
seperti umur dianggap sama.
3. Faktor
eksternal Drosophila melanogaster
seperti suhu, cahaya, kelembapan, kondisi medium sebagai tempat pembiakan, dan
nutrisi yang dimakan Drosophila
melanogaster dianggap sama.
F. Batasan Masalah
Batasan-batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Drosophila
melanogaster yang digunakan adalah
strain ro, e, dan tx.
2. Jeda waktu antara kopulasi pertama dengan kedua adalah 0 jam, 6
jam, 18 jam, 24 jam,36 jam, dan 48 jam.
3. Persilangan antara strain e♀
>< e♂, tx ♀ >< tx♂, ro ♀ >< ro♂, dan tx ♀ >< tx♂ kemudian setelah kopulasi pertama disilangkan dengan tx♂, e♂, ro♂ pada persilangan kedua dengan lama waktu kopulasi 2 jam.
4. Mengamati keturunan hanya sampai F1.
5. Persilangan diulangi 2 kali pada setiap macam persilangan strain
dan jeda waktu.
6. Pengamatan fenotipe dan jenis kelamin dari keturunan F1 sampai
hari ke-7 setelah lalat pertama menetas (hari ke-1).
G. Definisi Operasional
1. Kopulasi adalah persatuan seksual antara individu jantan dan
betina
2. Reseptivitas betina adalah kemampuan individu betina Drosophila melanogaster untuk melakukan
perkawinan
3. Jeda kopulasi, adalah periode waktu tertentu dimana individu
betina Drosophila melanogaster belum
reseptif terhadap individu jantan
4. Seminal reseptakel dan spermateka adalah organ
penyimpanan sperma sementara pada Drosophila melanogaster betina
5.
Macam strain adalah macam mutasi yang
terjadi pada Drosophila melanogaster
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Drosophila melanogaster
Kingdom :
Animalia
Phyllum :
Arthropoda
Kelas :
Insecta
Ordo :
Diptera
Gambar 2.1 Morfologi lalat buah Drosophila melanogaster
|
Genus :
Drosophila
Spesies :
Drosophila melanogaster
Gambar 2.2 Siklus hidup lalat buah Drosophila melanogaster
B.
Pencapaian Kematangan Kelamin
Usia kematangan seksual antara individu jantan dan betina berbeda.
Individu jantan akan mencapai kematangan seksual pada umur 12 jam setelah
menetas, dan individu betina akan mencapai kematangan seksual pada umur 8 jam
setelah menetas (Hartanti, 1998). Sedangkan menurut (Kiptiyah, 1998), individu betina mencapai kematangan seksual pada umur 24 jam dan
lainnya pada umur 48 jam setelah menetas. Setelah mencapai kematangan seksual,
akan terjadi kegiatan khusus sebelum terjadi kopulasi.
Menurut (Fowler, 1973) menyatakan
biasanya betina yang baru menetas menolak kawin dengan jantan dan belum
mencapai aktivitas maksimum sampai umur 48 jam. Ditambahkan oleh (Manning, 1976), penolakan ini
dihubungkan dengan belum tercapainya kematangan ovarium dan pertambahan hormone
remaja (Hartanti, 1998).
Kematangan
seksual betina berkembang beberapa hari setelah penetasan, dan betina yang
belum mengalami kedewasaan seksual akan menolak cumbuan dari jantan dengan cara
berlari, melompat, menendang, dan mengibaskan sayapnya (Kowalski dkk, 2004)
Secara
sitologi sperma mulai bergerak pada Drosophila
melanogaster jantan 8 jam setelah
menetas, dan sperma mulai bergerak pada bagian terminal dari testis melalui
katub terticulodiferensial menuju vesikula seminalis antara 6-10 jam (Khisin,
1995) dalam (Muliati,
2000).
C. Tahap
Pacaran Drosophila melanogaster
Untuk memilih pasangannya, lalat buah (Drosophila
melanogaster) jantan
dan betina melakukan sebuah duet tingkah laku yang menawarkan sebuah model
untuk mempelajari rangkaian saraf pada tingkah laku sosial bawaan. Jantan
memiliki gerakan tersendiri untuk mengajak betina melakukan kopulasi, seperti
mengikuti betina, membuat lagu menggunakan sayap yang mengembang, tapping, dan
menjilat kelamin betina, dan akhirnya kopulasi (Dickson dalam Bussel dkk,
2014).
Individu jantan saat
pacaran mendahului perkawinan dan itu diperlukan untuk merangsang daya
reseptivitas atau kemampuan untuk kawin pada individu betina . Pacaran meliputi
orientasi terhadap individu betina , kaki depan individu jantan menekan perut
betina , mengikuti betina , melakukan getaran sayap untuk menghasilkan
suatu “lagu pacaran” , menjilati bagian
genital individu betina dan mencoba untuk kopulasi (Bretman, 2010).
Proses pacaran dan
perkawinan pada Drosophila melanogaster. Selama proses pacaran,
Drosophila melanogaster betina lebih
memilih berhenti sejenak daripada mengurangi kecepatan berjalannya. Maksudnya,
jika betina itu sudah cocok dengan jantan, maka betina tersebut akan berhenti
untuk melanjutkan tahap pacaran. Seperti yang dikemukakan oleh (Bussel, 2014), We also attribute the historically noted
slowing down of receptive females to punctuated bouts of pausing during
courtship rather than decreased walking speed. Pausing behavior is specific to
female receptivity: it is decreased in both unreceptive females and in mature
virgin females not being actively courted by a male. The increased level of pausing
associated with receptivity requires the integration of multiple sensory
inputs, including song, from a courting male.
Ditambahkan oleh Shorey 1962, Ewing 1964, Manning 1967
dalam (Kowalski dkk, 2014), sinyal akustik diproduksi oleh getaran sayap jantan
terhadap betina. Getaran itu berperan penting selama pacaran. Kesuksesan jantan
mencocokkan betina akan berkurang secara drastis saat sayapnya terpotong atau
saat organ pendengarannya terletak pada segmen antena ketiga, atau aristanya
terpotong.
Berkaitan dengan stimulus pendengaran, (Manjunatha, 2008),
mengemukakan bahwa individu jantan menghasilkan bunyi dari vibrasi sayap. Bunyi
ini terdiri dari rangkaian pulsa. Pulsa ini nampak
berupa gelombang sinus dan berakhir dalam waktu milisekon. Ternyata besarnya sayap berhubungan dengan kesuksesan kawin individu jantan
tersebut dibandingkan dengan individu betina.
Setiap spesies Drosophila memiliki lama kopulasi
yang berbeda-beda. Grant dalam (Singh, 2003) menyatakan terdapat perbedaan yang
jelas pada durasi kopulasi spesies Drosophila. Faktor-faktor tersebut
bergantung pada sperma jantan, status perkawinan betina dan bentuk ovipositornya,
ukuran jantan, dan umur jantan. Umumnya, kopulasi yang lebih lama mengantar
suksesnya reproduksi bagi jantan.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kawin kembali dari Drosophila melanogaster adalah ukuran
badan betina. Menurut (Long dkk, 2010), betina yang berukuran kecil lebih
memungkinkan untuk dikawini jantan daripada yang berukuran besar. Hal ini
sesuai dengan saluran penyimpan cairan seminalnya.
D.
Daya Reseptivitas Betina
Reseptivitas seksual betina menawarkan model yang
sempurna untuk mempelajari tingkah laku Drosophila
melanogaster. Betina harus mempertimbangkan bagian reproduksinya,
lingkungan eksternal, dan sensor yang diberikan oleh jantan untuk melakukan
kopulasi (Bussel et.al, 2014). Jantan membuat susunan petunjuk sensori selama
tahap pacaran, termasuk kontak dan feromon, serta lagu. Tidak diketahui sinyal
mana yang akan ditangkap oleh betina. Semua sinyal itu akan diatur oleh
serangkaian saraf pada betina (Bussel et.al, 2014).
Menurut (Kowalski et.al, 2014), lagu pacaran yang dibuat
oleh jantan Drosophila melanogaster terlibat
dalam pengenalan spesies dan stimulasi seksual. Sinyal ini biasanya ditujukan kepada
betina untuk mengurangi pergerakannya, sehingga dapat memfasilitasi kopulasi.
Selain sinyal suara, sinyal visual dan kimia juga mempengaruhi reseptivitas
betina.
Menurut (Shorrock, 1972 & Fowler, 1973) dalam (Indayati, 1999)
menyatakan bahwa individu betina akan melakukan perkawinan setelah mencapai
kematangan seksual. Hal ini berhubungan dengan kematangan ovarium, yaitu pada
umur 48 jam setelah menetas. Pada umur ini secara seksual individu betina sudah
dapat menerima kehadiran individu jantan untuk melakukan perkawinan. Keadaan individu betina yang seperti ini dikatakan
keadaan yang reseptif (Fowler, 1973 dalam
Kiptiyah, 1998).
Menurut (Corebima, 1997) menyatakan bahwa sudah dapat dipastikan ada feromon yang
mempunyai peranan penting pada periode pacaran Drosophila.
Ditambahkan lagi, Feromon-feromon pada Drosophila
melanogaster merupakan senyawa-senyawa hasil metabolisme yang berfungsi
sebagai suatu “karangan bunga” bagi individu jantan. Dikatakan pula bahwa
feromon-feromon itu adalah semacam hormon yang menyebar melalui udara yang
berfungsi untuk mempengarui tingkah laku individu yang masih tergolong sesama
jenis.
Banyak protein yang diproduksi oleh
kelenjar asesori jantan Drosophila
melanogaster yang tercampur dengan sperma saat ejakulasi dan ditransfer ke
saluran reproduksi betina yang memefasilitasi penyimpanan sperma, kapasitasi,
dan tingkah laku bawaan setelah reproduksi (Avilla dkk dalam Sun, 2013).
Seperti sex peptide, yang meningkatkan peletakan telur dan mengurangi
reseptivitas betina dengan berikatan ke reseptor spesifik pada neuron sensori
pada saluran reproduksi betina (Sun & Allan, 2013).
E.
Kemampuan Kawin Kembali Drosophila melanogaster
Perkawinan
kembali betina merupakan komponen penting dari sistem kawin Drosophila. Hal ini karena setelah kawin, betina menyimpan sejumlah
besar sperma di sepasang
spermathecae dan reseptakulum
seminalis. Drosophila memanfaatkan
sperma tersebut untuk membuahi telur. Setelah betina Drosophila
perawan telah dikawinkan, dia biasanya tidak
mau untuk
menerima jantan lain untuk beberapa waktu karena perubahan terjadi perilaku dan
fisiologis, termasuk penurunan daya tarik terhadap jantan, penurunan
reseptivitas untuk kawin kembali, peningkatan tingkat oogenesis, ovulasi, dan oviposisi, penyimpanan dan penggunaan sperma, dan
pengurangan masa hidup (Singh, 2003).
Menurut (Kalb dkk, 1993), pada serangga, perkawinan
menyebabkan betina mengalami perubahan tingkah laku dan fisiologis yang
berlangsung selama beberapa hari. Setelah kawin, betina meletakkan telurnya dan
menolak pacaran dan kawin dari jantan selanjutnya. Mereka menyimpan dan
menggunakan sperma yang telah diterimanya. Pada Drosophila melanogaster, perubahan tingkah laku itu didasari oleh
bagian dari sperma dan bagian dari cairan seminal. Cairan tersebut diyakini
menyebabkan pengurangan reseptivitas yang disebut dengan efek kopulasi, tapi
dalam masa yang lebih panjang hal itu disebut sebagai efek sperma. Hal itu
berhubungan dengan keberadaan sperma pada organ penyimpanan sperma pada betina.
Menurut (Chapman, 2013), pada Drosophila melanogaster akan mampu melakukan perkawinan kembali
sekitar 48 jam setelah perkawinan sebelumnya.
Setelah melakukan perkawinan pertaman, Drosophila
melanogaster tidak akan menerima jantan untuk kawin lagi beberapa hari.
Sesuai dengan pendapat (Bussel dkk, 2014) yang menyatakan setelah kawin, betina
Drosophila untuk sementara menjadi
tidak reseptif dimana mereka akan melakukan penutupan ovipositor sebagai
gerakan untuk menolak ajakan kawin dari jantan berikutnya. Respon setelah kawin
ini dipicu oleh hormon peptida sex. Hormon tersebut diaktivasi oleh Sex Peptide
Receptor (SPR) sebagai sub bagian pada neuron sensori sistem reproduksi betina.
Salah satu jenis dari peptida seks adalah esterase 6, merupakan enzim yang
dihasilkan oleh individu jantan yang terkandung dalam cairan ejakulasi. Esterase 6 berperan dalam pengosongan organ penyimpanan sperma (reseptakulum
seminalis dan spermateka) pada betina untuk mempercepat proses pembuahan. Hal
tersebut mengakibatkan perangsangan terhadap daya reseptivitas betina muncul
kembali (Chapman, 2013).
Selain itu menurut (Herman,
1981) dalam (Kiptiyah, 1998) menyebutkan bahwa perkawinan
kembali individu betina tergantung oleh tipe terdahulu yang
diterimanya. Betina
yang telah melakukan perkawinan akan mengingat tingkah laku jantan yang
mengawininya. Betina tersebut akan mengingat hal itu untuk beberapa jam. Sehingga jika ada jantan lagi
yang ingin mengawininya, betina ini akan melakukan adaptasi terlebih dahulu.
Biasanya dibutuhkan waktu beberapa saat, tidak langsung berhasil beradaptasi.
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konseptual
Pada penelitian ini
menggunakan penjabaran kerangka konseptual sebagai berikut:
Menulis data dan menganalisis
data, Membahas dan membuat kesimpulan
|
Menulis data dan menganalisis
data, Membahas dan membuat kesimpulan
|
Perkembangbiakan
lalat buah Drosophila melanogaster
secara seksual dengan perkawinan
|
D. melanogaster jantan
dan betina yang telah mencapai kedewasaan seksual disilangkan sebagai
perkawinan pertama
|
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkawinan lalat buah Drosophila melanogaster
|
Macam strain Drosophila melanogaster (strain
ro, e, dan tx)
|
Lama jeda
waktu setelah kopulasi pertama (0, 6, 18, 24, 36, 48 jam)
|
Reseptivitas
individu betina lalat buah Drosophila
melanogaster
|
Penghitungan
jumlah fenotip F1 dari setiap perlakuan macam strain (ro, e, dan tx) lama
jeda waktu setelah kopulasi pertama (0, 6, 18, 24, 36, 48 jam)
|
Menulis data dan menganalisis
data, Membahas dan membuat kesimpulan
|
B. Hipotesis Penelitian
Pada penelitian ini
dapat dirumuskan beberapa hipotesis sebagai berikut.
1. Ada pengaruh jeda kopulasi terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina strain ro, e, dan tx.
2. Ada pengaruh macam strain ro,
e, dan tx terhadap kemampuan
kawin kembali Drosophila melanogaster betina.
3. Ada interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain ro, e, dan tx terhadap
kemampuan kawin kembali Drosophila
melanogaster betina
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
penelitian eksperimen. Hal ini berdasarkan adanya perlakuan yang diberikan
berupa macam strain yaitu ro, e, dan tx dan jeda waktu untuk perkawinan kedua
(0 jam, 6 jam, 18 jam, 24 jam, 36 jam dan 48 jam) yang merupakan variabel
bebas. Variabel terikatnya adalah adanya perkawinan kedua dengan adanya
indikator strain baru pada F1. Rancangan penelitian dilakukan dengan RAK
(rancangan Acak Kelompok) dengan Anava Ganda. Penggunaan RAK dengan Anava Ganda
ini didasarkan pada penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui dua faktor
yaitu pengaruh antara jeda kopulasi dan macam strain pada kemampuan kawin
kembali Drosophila melanogaster
betina. Sehingga digunakan anava ganda.
B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dimulai sejak tanggal 16 September sampai bulan
November 2014 yang dilakukan di Laboratorium Genetika (Gedung Biologi, 310)
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Negeri Malang.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua Drosophila melanogaster yang merupakan stok yang telah disediakan
oleh Laboratorium Genetika (Gedung Biologi, 310) Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Sedangkan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Drosophila melanogaster strain ro,
e, dan tx.
D. Alat dan Bahan
1. Alat
Botol
selai, busa, selang ampul, gunting, cutter, pisau, kardus, kuas, blender,
kompor gas, kain kasa, plastic, mikroskop stereo, panci, pengaduk, spidol,
botol balsam, tupper ware ,dan karet.
2. Bahan
Kertas
pupasi, kertas label, pisang rajamala, tape singkong, gula merah, yeast, air,
dan Drosophila melanogaster strain ro, e, dan tx.
E. Prosedur Kerja
1. Pembuatan medium
a. Menyiapkan pisang raja mala, tape singkong dan gula merah.
b. Menimbang 700 gram pisang raja mala, 200 gram tape singkong dan
100 gram gula merah (perbandingan 7:2:1).
c. Mengiris kecil-kecil ketiga bahan di atas dengan pisau
d. Menambahkan sedikit air dan memblendernya sampai halus.
e. Mencairkan gula merah 100 gram dengan air secukupnya.
f. Setelah bahan tersebut halus, kemudian memasukkannya ke dalam
panci dan memasaknya.
g. Jika sudah mendidih, tambahkan gula yang cair ke dalam panic dan
memasaknya selama ± 45 menit sambil diaduk.
h. Setelah medium masak, kemudian memasukkannya ke dalam botol selai (masih
dalam keadaan panas), menutupnya dengan spons dan merendamnya di air dingin
sampai medium tersebut dingin.
i.
Setelah
dingin, bagian dalam botol medium di lap dengan tissue kemudian menambahkan ±
3-5 butir yeast ke dalam medium.
j.
Memasukkan
kertas pupasi.
2. Penyediaan stok dan pengampulan
a. Memasukkan beberapa pasangan (3-5) jantan dan betina Drosophila melanogaster strain dp, b atau N ke dalam botol-botol
berisi medium yang telah disediakan kemudian memberi label sesuai strain dan
tanggal pemasukannya.
b. Menunggu beberapa hari sampai muncul pupa hitam. Jika telah
terdapat pupa hitam, maka pupa tersebut diambil dengan kuas kecil kemudian
dimasukkan ke dalam selang kecil yang didalamnya telah diisi dengan potongan
pisang kecil (teknik ini disebut mengampul) kemudian ditutup dengan busa
(tempat ini disebut selang ampul).
c. Menunggu beberapa hari sampai pupa tersebut berkembang.
3. Persilangan
a. Menyilangkan e♀ ><
e♂, tx♀ >< tx♂, ro♀
>< ro♂, dan tx♀ >< tx♂
b. Setelah kopulasi selesai, individu jantan dilepaskan
c. Setelah persilangan pertama dengan jeda waktu 0 jam, 6 jam , 18
jam, 24 jam, 36 jam dan 48 jam dilakukan persilangan kedua e♀ >< tx(♂ baru), tx♀
>< e (♂ baru), ro♀ >< e (♂ baru), tx♀ >< ro (♂
baru) yang diambil dari ampulan.
d. Persilangan kedua dengan lama waktu 2 jam maka jantan dilepas.
e. Setelah ada larva, individu betina dipindah kemedium baru yaitu
botol A, B,
C, dan D
f. Setiap perlakuan diulang 2 kali ulangan
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan cara mengamati dan menghitung
fenotipe dan jumlah individu jantan dan individu betina pada F1 hari pertama
sampai hari ketujuh. Hasil pengamatan dan penghitungan dimasukkan ke dalam
tabel seperti berikut :
Perlakuan
|
Ulangan
|
Fenotipe
|
♀/♂
|
Hari ke
|
Σ
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
|||||
|
|
|
♀
|
|
|
|
|
|
|
|
|
♂
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||
|
♀
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
♂
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||
|
♀
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
♂
|
|
|
|
|
|
|
|
|
G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menganalisis ada tidaknya fenotip baru yang muncul dalam persilangan dengan perlakuan
jeda waktu kopulasi tertentu. Data yang diperoleh di homogenkan dan dilanjutkan
dengan uji statistika Rancangan Acak Kelompok (RAK) anava ganda, untuk
mengetahui ada tidaknya pengaruh jeda waktu kopulasi pertama dengan kedua dan
strain terhadap kemunculan strain baru.
BAB V
DATA DAN ANALISIS DATA
A. Data
Data fenotip Drosophila
melanogaster yang diamati dalam
penelitian ini adalah:
·
Strain e
1.
Warna mata merah
2.
Faset mata halus
3.
Sayap menutupi tubuh dengan sempurna
4.
Warna tubuh coklat kehitaman
·
Strain ro
1.
Warna mata merah
2.
Faset mata kasar
3.
Sayap menutupi tubuh dengan sempurna
4.
Warna tubuh kuning kecoklatan
·
Strain tx
1.
Warna mata merah
2.
Faset mata halus
3.
Sayap membuka ke samping
4.
Warna tubuh kuning kecoklatan
B. Analisis Data
Berikut adalah penyederhanaan perolehan data pengaruh jeda waktu
dan macam strain terhadap kemampuan kawin kembali strain ♀
ro
>< ♂ ro >< ♂e, ♀ e >< ♂ e >< ♂tx, ♀ tx >< ♂ tx
>< ♂e dan ♀ tx >< ♂ tx >< ♂ro
:
Tipe persilangan
|
Jeda waktu (jam)
|
Fenotip
|
sex
|
Ulangan
|
∑
|
Jml
|
Total
|
|
1
|
2
|
|||||||
♀ ro
>< ♂ ro >< ♂e
|
0
|
ro
|
♀
|
154
|
|
154
|
245
|
|
♂
|
91
|
|
91
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
6
|
ro
|
♀
|
136
|
|
136
|
225
|
|
|
♂
|
89
|
|
89
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
18
|
ro
|
♀
|
124
|
|
124
|
207
|
|
|
♂
|
83
|
|
83
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
24
|
ro
|
♀
|
110
|
|
110
|
186
|
|
|
♂
|
76
|
|
76
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
36
|
ro
|
♀
|
102
|
|
102
|
166
|
|
|
♂
|
64
|
|
64
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
48
|
ro
|
♀
|
38*
|
|
|
|
|
|
♂
|
30*
|
|
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
*
|
|
|
|
|||
♂
|
*
|
|
|
|||||
Tipe persilangan
|
Jeda waktu (jam)
|
Fenotip
|
sex
|
Ulangan
|
∑
|
Jml
|
Total
|
|
1
|
2
|
|||||||
♀ e
>< ♂ e >< ♂tx
|
0
|
e
|
♀
|
70
|
|
70
|
117
|
|
♂
|
47
|
|
47
|
|||||
tx
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
6
|
e
|
♀
|
72
|
|
72
|
122
|
|
|
♂
|
50
|
|
50
|
|||||
tx
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
18
|
e
|
♀
|
68
|
|
68
|
106
|
|
|
♂
|
38
|
|
38
|
|||||
tx
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
24
|
e
|
♀
|
61
|
|
61
|
101
|
|
|
♂
|
40
|
|
40
|
|||||
tx
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
36
|
e
|
♀
|
59
|
|
59
|
102
|
|
|
♂
|
43
|
|
43
|
|||||
tx
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
48
|
e
|
♀
|
28*
|
|
|
|
|
|
♂
|
21*
|
|
|
|||||
tx
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
*
|
|
|
|
|||
♂
|
*
|
|
|
|||||
Tipe persilangan
|
Jeda waktu (jam)
|
Fenotip
|
sex
|
Ulangan
|
∑
|
Jml
|
Total
|
|
1
|
2
|
|||||||
♀ tx
>< ♂ tx >< ♂e
|
0
|
tx
|
♀
|
57
|
|
57
|
96
|
|
♂
|
39
|
|
39
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
6
|
tx
|
♀
|
60
|
|
60
|
105
|
|
|
♂
|
45
|
|
45
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
18
|
tx
|
♀
|
50
|
|
50
|
87
|
|
|
♂
|
37
|
|
37
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
|
|
|
|||||
24
|
tx
|
♀
|
60
|
|
60
|
100
|
|
|
♂
|
40
|
|
40
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
36
|
tx
|
♀
|
40
|
|
40
|
75
|
|
|
♂
|
35
|
|
35
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
48
|
tx
|
♀
|
22*
|
|
|
|
|
|
♂
|
18*
|
|
|
|||||
e
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
*
|
|
|
|
|||
♂
|
*
|
|
|
|||||
Tipe persilangan
|
Jeda waktu (jam)
|
Fenotip
|
sex
|
Ulangan
|
∑
|
Jml
|
Total
|
|
1
|
2
|
|||||||
♀ tx
>< ♂ tx >< ♂ro
|
0
|
tx
|
♀
|
60
|
|
60
|
109
|
|
♂
|
49
|
|
49
|
|||||
ro
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
6
|
tx
|
♀
|
59
|
|
59
|
123
|
|
|
♂
|
64
|
|
64
|
|||||
ro
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
||||
♂
|
-
|
|
|
|||||
18
|
tx
|
♀
|
40
|
|
40
|
96
|
|
|
♂
|
56
|
|
56
|
|||||
ro
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
24
|
tx
|
♀
|
59
|
|
59
|
106
|
|
|
♂
|
47
|
|
47
|
|||||
ro
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
36
|
tx
|
♀
|
61
|
|
61
|
107
|
|
|
♂
|
46
|
|
46
|
|||||
ro
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
48
|
tx
|
♀
|
20*
|
|
|
|
|
|
♂
|
13*
|
|
|
|||||
ro
|
♀
|
-
|
|
|
|
|||
♂
|
-
|
|
|
|||||
N
|
♀
|
9*
|
|
|
|
|||
♂
|
14*
|
|
|
Keterangan : * = Pengamatan belum penuh sampai pemindahan botol D (dalam
proses pengamatan)
Rekonstruksi kromosom
a. Persilangan tipe 1(♀
ro
>< ♂ ro >< ♂e)
Parental : ♀
ro >< ♂ ro
Genotip : ro >< ro
ro ro
Gamet : ro, ro
F1 :
ro
(ro)
ro
Parental : ♀
ro >< ♂e
Genotip : e+ro >< ero+
e+ro ero+
Gamet : e+,
ro, e, ro+
F1 : e+ro (N)
ero+
b.
Persilangan tipe 2(♀
e >< ♂ e >< ♂tx)
Parental : e♀
>< e♂
Genitip : e
>< e
e e
Gamet : e, e
F1 : e (e)
e
Parental : ♀
e >< ♂tx
Genotip : e
tx+ >< e+tx
e tx+ e+tx
Gamet : e, tx+,
e+, tx
F1 : e tx+ (N)
e+tx
c.
Persilangan
tipe 3 (♀ tx
>< ♂ tx >< ♂e)
Parental : tx♀
>< tx♂
Genitip : tx
>< tx
tx tx
Gamet : tx, tx
F1 : tx (tx)
tx
Parental : ♀
tx >< ♂e
Genotip : e+
tx >< e tx+
e+ tx e tx+
Gamet : e+, tx, e, tx+,
F1 : e+ tx (N)
e tx+
d. Persilangan tipe 4 (♀ tx >< ♂ tx ><
♂ro)
Parental : tx♀
>< tx♂
Genitip : tx
>< tx
tx tx
Gamet : tx, tx
F1 : tx (tx)
tx
Parental : ♀
tx >< ♂ro
Genotip : ro+
tx >< ro tx+
ro+tx ro tx+
Gamet : ro+, tx, ro,
tx+,
F1 : ro+ tx (N)
ro tx+
Pada pengamatan yang telah dilakukan pada tipe
persilangan (♀
ro
>< ♂ ro >< ♂e) yaitu pada saat
perkawinan homogami setelah melakukan kopulasi jantan pertama dilepas dan
individu betina dibiarkan sendiri selama jeda waktu tertentu dan disilangkan
kembali dengan perkawinan heterogami dengan lama waktu persilangan selama 2
jam. Hasil dari persilangan dengan perlakuan jeda waktu 0,6, 18, 24 dan 36 jam
tidak ditemukan anakan yang memiliki fenotip strain N sesuai hasil rekonstruksi
kromosom tetapi hanya ditemukan anakan yang memiliki fenotip sama dengan
indukan pertama yaitu fenotip ♀ ro , ♂ ro. Tetapi pada persilangan dengan jeda waktu kopulasi 48
jam belum dapat dianalisis karena data yang diperoleh belum lengkap hingga
pengamatan fenotip botol D.
Pada pengamatan yang telah dilakukan pada tipe
persilangan (♀
e >< ♂ e >< ♂tx) yaitu pada saat perkawinan
homogami setelah melakukan kopulasi jantan pertama dilepas dan individu betina
dibiarkan sendiri selama jeda waktu tertentu dan disilangkan kembali dengan
perkawinan heterogami dengan lama waktu persilangan selama 2 jam. Hasil dari
persilangan dengan perlakuan jeda waktu 0, 6, 18, 24 dan 36 jam tidak ditemukan
anakan yang memiliki fenotip strain N sesuai hasil rekonstruksi kromosom tetapi
hanya ditemukan anakan yang memiliki fenotip sama dengan indukan pertama yaitu
fenotip ♀ e, ♂ e. Tetapi pada persilangan
dengan jeda waktu kopulasi 48 jam belum dapat dianalisis karena data yang
diperoleh belum lengkap hingga pengamatan fenotip botol D.
Pada pengamatan yang telah dilakukan pada tipe
persilangan (♀ tx >< ♂ tx >< ♂e) yaitu pada saat
perkawinan homogami setelah melakukan kopulasi jantan pertama dilepas dan
individu betina dibiarkan sendiri selama jeda waktu tertentu dan disilangkan
kembali dengan perkawinan heterogami dengan lama waktu persilangan selama 2
jam. Hasil dari persilangan dengan perlakuan jeda waktu 0,6, 18, 24 dan 36 jam
tidak ditemukan anakan yang memiliki fenotip strain N sesuai hasil rekonstruksi
kromosom tetapi hanya ditemukan anakan yang memiliki fenotip sama dengan
indukan pertama yaitu fenotip ♀ tx, ♂ tx. Tetapi pada
persilangan dengan jeda waktu kopulasi 48 jam belum dapat dianalisis karena
data yang diperoleh belum lengkap hingga pengamatan fenotip botol D.
Pada
persilangan (♀ tx >< ♂ tx ><
♂ro) dengan
perlakuan jeda waktu kopulasi 0,6, 18, 24 dan 36 jam hasil anakannya memiliki
fenotip seperti indukan pertama yaitu fenotip ♀ tx, ♂ tx
, tetapi untuk persilangan dengan jeda waktu 48 jam ditemukan anakan dengan
fenotip strain N meskipun data yang diperoleh belum lengkap.
Dari
deskripsi data diatas, perlakuan persilangan 0 jam – 36 jam tidak ditemukan
anakan yang mempunyai ciri fenotip strain
N yang berdasarkan hasil rekonstruksi yang telah dibuat, kemunculan
fenotip N pada F1 yaitu menandakan adanya keberhasilan dalam kopulasi dengan
jantan yang ke 2 karena heterogami sehingga akan dibentuk anakan strain N
tetapi pada percobaan ditemukan F1 yang berfenotip sama dengan indukan pertama dari kopulasi yang pertama karena reseptivitas
betina terjadi 2 hari sekali. Sehingga membutuhkan minimal 48 jam untuk perkawinan
kedua agar diperoleh anakan strain N.
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Pengaruh
jeda kopulasi terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina strain ro, e, dan tx.
Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh pada
persilangan dengan jeda waktu kopulasi 0
jam, 6 jam, 18 jam, 24 jam, 36 jam, dan 48 jam belum di dapatkan F1 strain baru
pada persilangan ro♀ >< ro♂ >< e♂, e♀
>< e♂ >< tx♂, dan tx♀
>< tx♂ >< e♂. Sedangkan pada persilangan tx♀ >< tx♂ ><
ro♂ untuk jeda waktu kopulasi 48 jam sudah teramati munculnya strain baru
meskipun pengamatan belum selesai sampai botol D.
Pembahasan diutamakan dari hasil persilangan Drosophila melanogaster strain tx♀ >< tx♂ >< ro♂ yang telah
mendapatkan data hingga jeda waktu kopulasi 48 jam. Berdasarkan hasil yang
diperoleh ternyata sudah sesuai dengan sumber literatur dimana perubahan daya
reseptivitas atau kemampuan untuk kawin kembali pada banyak spesies serangga
dipengaruhi oleh lama interval jeda antara kopulasi pertama dengan kopulasi
selanjutnya. Pada Drosophila melanogaster
akan mampu melakukan perkawinan kembali sekitar 48 jam setelah perkawinan
sebelumnya (Chapman, 2013).
Menurut (Kalb dkk, 1993), pada serangga, perkawinan
menyebabkan betina mengalami perubahan tingkah laku dan fisiologis yang
berlangsung selama beberapa hari. Setelah kawin, betina meletakkan telurnya dan
menolak pacaran dan kawin dari jantan selanjutnya. Mereka menyimpan dan
menggunakan sperma yang telah diterimanya. Pada Drosophila melanogaster, perubahan tingkah laku itu didasari oleh
bagian dari sperma dan bagian dari cairan seminal. Cairan tersebut diyakini
menyebabkan pengurangan reseptivitas yang disebut dengan efek kopulasi, tapi
dalam masa yang lebih panjang hal itu disebut sebagai efek sperma. Hal itu berhubungan
dengan keberadaan sperma pada organ penyimpanan sperma pada betina.
Penghentian
reseptivitas betina setelah perkawinan pertama dikarenakan dua hal, yaitu (1)
efek kopulasi yang menyebabkan pembesaran ukuran
alat genital individu betina, dan (2) efek sperma yang mengakibatkan pembekakkan karena keberadaan sperma
yang menyebabkan epitel vagina mengeluarkan cairan melimpah dalam waktu 1-2 jam setelah perkawinan.
Setelah melakukan perkawinan pertama, Drosophila melanogaster tidak akan
menerima jantan untuk kawin lagi beberapa hari. Sesuai dengan pendapat (Bussel
dkk, 2014) yang menyatakan setelah kawin, betina Drosophila untuk sementara menjadi tidak reseptif dimana mereka
akan melakukan penutupan ovipositor sebagai gerakan untuk menolak ajakan kawin
dari jantan berikutnya. Respon setelah kawin ini dipicu oleh hormon peptida
sex. Hormon tersebut diaktivasi oleh Sex Peptide Receptor (SPR) sebagai sub
bagian pada neuron sensori sistem reproduksi betina.
Banyak protein yang
diproduksi oleh kelenjar asesori jantan Drosophila
melanogaster yang tercampur dengan sperma saat ejakulasi dan ditransfer ke
saluran reproduksi betina yang memefasilitasi penyimpanan sperma, kapasitasi,
dan tingkah laku bawaan setelah reproduksi (Avilla dkk dalam Sun, 2013).
Seperti sex peptide, yang meningkatkan peletakan telur dan mengurangi
reseptivitas betina dengan berikatan ke reseptor spesifik pada neuron sensori
pada saluran reproduksi betina (Sun & Allan, 2013).
Peptida seks tersebut mampu masuk ke sistem sirkulasi
lalu mencapai sistem saraf pusat sehingga mempengaruhi proses oogenesis dari
individu betina. Proses oogenesis berperan penting terhadap pematangan sel
telur untuk proses perkawinan selanjutnya. Apabila proses pematangan sel telur
ini terhambat akan mengakibatkan daya reseptivitas betina menurun. Hal tersebut
mengakibatkan betina Drosophila
melanogaster baru bisa melakukan kawin kembali 48 jam setelah perkawinan
awal.
Salah satu jenis dari peptida seks adalah esterase 6, merupakan enzim yang
dihasilkan oleh individu jantan yang terkandung dalam cairan ejakulasi. Esterase 6 berperan dalam pengosongan organ penyimpanan sperma (reseptakulum
seminalis dan spermateka) pada betina untuk mempercepat proses pembuahan. Hal
tersebut mengakibatkan perangsangan terhadap daya reseptivitas betina muncul
kembali (Chapman, 2013).
B. Pengaruh
macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin
kembali Drosophila melanogaster
betina
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, tiap strain memiliki
pengaruh yang berbeda untuk mencapai reseptivitas. Hal ini berkaitan dengan
sinyal-sinyal yang dapat dihasilkan oleh kedua individu ketika melakukan
perkawinan dari masing-masing strain.
Daya reseptivitas betina terutama pada Drosophila melanogaster dipengaruhi oleh
peptida seks yang terkandung dalam cairan ejakulasi individu jantan. Namun
sebelum terjadinya proses kopulasi dalam perkawinan selalu diawali dengan
proses pacaran. Keberhasilan proses pacaran tersebut juga berdampak pada terjadinya
proses kopulasi.
Tingkah laku
perkawinan Drosophila melanogaster dimediasi oleh beberapa stimulus antara lain stimulus penglihatan
(visual signals), stimulus bau dan
aliran udara (olfactory and gustatory
signals), stimulus pendengaran (auditory
signals), dan stimulus taktil (tactile
signals). Berkaitan dengan stimulus pendengaran, (Manjunatha, 2008),
mengemukakan bahwa individu jantan menghasilkan bunyi dari vibrasi sayap. Bunyi
ini terdiri dari rangkaian pulsa. Pulsa ini nampak
berupa gelombang sinus dan berakhir dalam waktu milisekon. Ternyata besarnya sayap berhubungan dengan kesuksesan kawin individu jantan
tersebut dibandingkan dengan individu betina.
Pada strain yang digunakan oleh peneliti, terdapat strain
yang mengalami mutasi sayap yaitu strain tx.
Sayap yang ada pada strain tx berbeda
dengan strain ro dan e, dimana sayapnya membuka ke samping.
Dimungkinkan mutasi sayap dari strain ini mengakibatkan proses pacaran yang
terjadi tidak berhasil. Bila proses pacaran tidak berhasil, maka proses
kopulasi juga tidak akan berhasil.
Selain itu menurut (Herman,
1981) dalam (Kiptiyah, 1998) menyebutkan bahwa perkawinan
kembali individu betina tergantung oleh tipe terdahulu yang
diterimanya. Hal ini menandakan bahwa adanya
adaptasi pola kopulasi pada Drosopila
betina dengan jantan pertama. Sehingga betina itu akan mengalami kesulitan untuk
beradaptasi dengan jantan kedua. Seperti yang dikemukakan oleh (Billeter dkk,
2011) interaksi sosial dalam kelompok Drosophila
melanogaster disebabkan oleh adanya Indirect
Genetic Effect (IGE) yang membuat fenotip dari suatu individu mempengaruhi
tingkah laku individu yang lain.
Artinya, tidak semua strain dapat beradaptasi satu sama lain dalam
persilangan heterogami. Strain-strain itu masih memilah-milah pasangannya.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kawin kembali dari Drosophila melanogaster adalah ukuran
badan betina. Menurut (Long dkk, 2010), betina yang berukuran kecil lebih
memungkinkan untuk dikawini jantan daripada yang berukuran besar. Hal ini sesuai
dengan saluran penyimpan cairan seminalnya. Jika mengawini betina yang lebih
besar, jantan harus berfikir lagi. Jantan harus mengeluarkan banyak cairan
seminal saat mengawini betina dengan tubuh yang besar. Namun disini, peneliti
menganggap ukuran tubuh strain yang digunakan sama besarnya.
C. Interaksi
antara jeda kopulasi dan macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina
Berdasarkan
data pengamatan yang diperoleh, peneliti belum bisa menentukan apakah ada
hubungan antara lama jeda kopulasi dan macam strain Drosophila melanogaster. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi
pada kedua faktor tersebut. Pertama, terdapat interaksi antara lama jeda
kopulasi dan macam strain terhadap keberhasilan kawin kembali Drosophila melanogaster. Kedua, tidak
terdapat interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain terhadap keberhasilan
kawin kembali Drosophila melanogaster.
Jika terdapat
interaksi antara dua faktor itu, maka keduanya akan saling mempengaruhi. Jeda
kopulasi menentukan lama waktu yang dibutuhkan betina Drosophila melanogaster untuk reseptif kembali. Sedangkan macam
strain berpengaruh untuk menentukan apakah perkawinan berhasil atau tidak. Bila
jeda kopulasi sudah terpenuhi, artinya betina sudah reseptif kembali, namun
macam strain yang diberikan untuk perkawinan kedua gagal beradaptasi dengan
betina maka perkawinan tidak akan berhasil dan begitu pula sebaliknya. Keberhasilan perkawinan dapat dilihat dari
adanya strain baru pada anakan yaitu strain N.
Jika kedua
faktor tidak berpengaruh terhadap keberhasilan kawin kembali Drosophila melanogaster, maka anakan
yang dihasilkan mulai dari perlakuan 0 jam – 48 jam dimungkinkan akan muncul
strain baru yaitu N. Saat jeda kopulasi tidak berpengaruh, maka betina Drosophila melanogaster akan kawin lagi
dengan jantan tanpa memperhatikan keadaan reseptifnya. Begitu pula jika macam
strain tidak berpengaruh. Betina Drosophila
melanogaster akan bersedia kawin dengan strain apapun tanpa mengalami
kesulitan adaptasi.
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan
diperoleh kesimpulan sementara sebagai berikut:
1. Ada pengaruh jeda waktu kopulasi terhadap kemampuan kawin
kembali Drosophila melanogaster betina
strain ro, e, dan tx..
2. Ada pengaruh macam strain ro, e, dan tx terhadap
kemampuan kawin kembali Drosophila
melanogaster betina.
3. Ada interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain berpengaruh terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina.
B. Saran
Saran
yang dapat diberikan oleh peneliti antara lain:
1. Melakukan persilangan sebaiknya ditempat yang sempit untuk
persilangan pertama dan dalam keadaan tenang agar cepat terjadi kopulasi
2. Sebaiknya dalam melakukan persilangan, dilakukan pada betina yang
berumur minimal 2 hari setelah menetas, dan inividu jantan minimal 12 jam
setelah menetas.
3. Sebaiknya pengamatan dilakukan dengan ketelitian agar didapatkan
fenotipe yang sesuai.
4. Sebaiknya lebih
sering meremajakan agar lebih banyak didapatkan ampulan.
5. Sebaiknya lebih
menjaga kebersihan medium agar tidak terjangkit kutu
Daftar Rujukan
Billeter, Jean-Christophe et.al. 2011. Drosophila melanogaster females
change mating behaviour and offspring production based on social context. (Online), (http://www.rug.nl/staff/j.c.billeter/billeteretal.2011.pdf),
diakses 21 November 2014.
Borror, I. J. 1992. Pengenalan
Pelajaran Serangga. SEogseakarta: Gajah Mada Universitse Press.
Bretman, Amanda et.al. 2010. A Mating Plug Reduces Early Remating in Drosophila melanogaster. Journal of Insect Physiology. 56.
(Online), www.elsevier.com/locate/jinsphys. diakses 20 November 2014.
Bussel, J.J et.al. 2014. Abdominal-B Neurons Control Drosophila Virgin
Female Receptivity.
(Online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24998527), diakses 20
November 2014.
Chapman, R. F. 2013. The Insects: Structure and Function. Edisi kelima. New York: Cambridge
University Press.
Corebima,
A.D. 1997. Genetika Mendel. Surabaya:
Airlangga University Press.
Hartanti, Sri. 1998. Studi
Kecepatan Kawin, Lama Kopulasi, dan Jumlah Turunan Drosophila melanogaster
Strain Black dan Sephia pada Umur Dua Hari Dan Tiga Hari. Skripsi tidak
diterbitkan: IKIP Malang.
Indayati, Nur. 1999. Pengaruh
Umur Betina dan Macam Strain Jantan Etrhadapa Keberhasilan Kawin Kembali
Individu Betina Drosophila melanogaster. Skripsi tidak diterbitkan: IKIP
Malang.
Kalb, John M et.al. 1993. Probing the function of Drosophila
melanogaster accessory glands by directed cell ablation. (Online), (http://www.pnas.org/content/90/17/8093.full.pdf),
diakses 21 November 2014.
Kiptiyah. 1998. Studi Jumlah
Turunan Inidividu Jantan Pertama dan Kecenderungan Kemunculanya Pada Perkawian
Kemabali Individu Betina Serta Dominasi Turunan Individu Jantan kedua: kajian
pada Drosophila melanogaster. Skripsi tidak diterbitkan: IKIP Malang
Kowalski, Solange et.al. 2004. Courtship song in Drosophila melanogaster: a
differential effect on male-female locomotor activity. (Online), (http://www.cb.u-psud.fr/pdf/kowal_CanJZool2004.pdf),
diakses 20 November 2014.
Long, Tristan A.F et.al. 2010. Remating in Drosophila melanogaster: Are Indirect
benefits condition-dependent?.(Online),
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2930934/.pdf), diakses 21
November 2014.
Manjunatha, T., Hari Dass S. and
Sharma V. K. 2008 Egg-laying rhythum in Drosophila melanogaster. J.
Genet. 87.
Markow, Therese Ann. 1988. Reproductive Behavior of Drosophila melanogaster and D. nigrospiracula in the Field and in the Laboratory. Journal of Comparative Psychology. 102 (2), (Online),
www.elsevier.com/locate/jinsphys. diakses 20 November 2014.
Muliati, L. 2000. Pengaruh Strain dan
Umur Jantan Terhadap Jumlah Turunan Jantan dan Betina Drosophila melanogaster.
Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang : Skripsi tidak diterbitkan
Pitnick. 1999. Evolution of Multiple
Kinds of Female Sperm-Storage Organs in Drosophila. (online), (http://online.sfsu.edu/~gs/spicer/pages/spicerpdf/pitnick99.pdf),
diakses tanggal 21 November 2014
Singh, Shree Ram & Bashisth N. Singh. 2003. Female Remating in Drosophila:
Comparison of Duration of Copulation between first and second matings in six
species. (Online), (http://
www.iisc.ernet.in/~currsci/feb102004/465.pdf),
diakses 20 November 2014.