Kamis, 18 Desember 2014

pengaruh jeda kopulasi dan macam strain terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster

Pengaruh Jeda Waktu Kopulasi dan Macam Strain terhadap Keberhasilan Kawin Kembali Betina Drosophila Melanogaster Strain ro, e dan tx

LAPORAN PROYEK
Disusun untuk memenuhi tugas Genetika II
yang dibina oleh Prof. Dr. Duran Corebima Aloysius, M.Pd.



Disusun Oleh:
Kelompok 13 OFF B
Genetika Hari Kamis
Afif Saifudin                 120341421993




 









UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
November 2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak. Perkembangbiakan adalah kemampuan makhluk hidup untuk menghasilkan individu baru yang sifatnya sama atau menyerupai induknya. Tujuan perkembangbiakan adalah untuk menghasilkan keturunan sehingga dapat melestarikan jenisnya. Perkembangbiakan terutama pada hewan pada umumnya dapat terjadi secara seksual maupun aseksual. Perkembangbiakan aseksual masih ditemukan pada hewan tingkat rendah namun pada hewan tingkat tinggi hanya ditemukan perkembangbiakan seksual dimana ada perkawinan antara individu jantan dan individu betina yang sejenis atau satu spesies.
Drosophila melanogaster adalah salah satu jenis lalat buah yang banyak ditemukan di lingkungan sekitar. Jumlah Drosophila yang melimpah di lingkungan karena spesies ini mudah sekali dalam berkembang biak. Perkembangbiakan Drosophila melanogaster dilakukan secara seksual yaitu dimana terjadi perkawinan antara individu jantan dan betina. Perkawinan dapat terjadi jika individu jantan dan individu betina telah mencapai kedewasaan secara seksual. Hal ini ditandai dengan kemampuan individu jantan untuk menghasilkan sperma dan individu betina untuk menghasilkan oosit sekunder yang apabila terjadi fertilisasi akan terbentuk ovum yang berkembang menjadi zigot. Pada umur dua hari, individu jantan dan betina sudah dapat melakukan perkawinan untuk yang pertama kali, karena menurut (Kiptiyah, 1998), individu betina akan mencapai keadaan yang reseptif secara maksimal pada umur 48 jam setelah menetas. Namun demikian yang paling menentukan apakah akan terjadi perkawinan atau tidak adalah individu betina. Hal ini dikarenakan adanya faktor yang berpengaruh baik faktor internal maupun faktor eksternal (Markow, 1988).
Daya reseptivitas seksual pada betina menawarkan model yang sangat baik untuk keputusan perilaku yang kompleks. Betina dapat memutuskan apakah akan berkopulasi atau tidak dengan cara menangkap sinyal dari jantan maupun dari lingkungan. Dalam lalat Drosophila melanogaster, reseptivitas betina telah menerima perhatian yang relatif sedikit, dan komponen rangkaian saraf dan tingkah laku individu tetap belum dipetakan (Bussel, dkk, 2014)
Perkawinan kembali betina merupakan komponen penting dari sistem perkawinan Drosophila karena betina menyimpan sejumlah besar sperma setelah kawin di sepasang spermathecae berbentuk bulat dan reseptakulum semilunaris yang memanjang (Pitnick dkk, 1999) Faktor eksternal yang berpengaruh antara lain adalah faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban, dan yang sangat penting adalah sinyal yang dikeluarkan oleh individu jantan selama pacaran. Faktor internal yang berpengaruh antara lain yaitu kematangan seksual dan status kawin individu betina. Kemampuan betina untuk melakukan perkawinan akan meningkat seiring pertambahan umurnya setelah penetasan dan akan berkurang setelah mencapai titik puncak kemampuan kawinnya (Chapman, 2013). Namun individu betina tetap dapat melakukan lebih dari satu perkawinan. Kemampuan yang dimiliki individu betina ini disebut daya reseptivitas atau kemampuan untuk dapat kawin kembali. Kemampuan untuk dapat kawin kembali ini juga dipengaruhi beberapa faktor seperti lama jeda waktu untuk terjadinya kopulasi berikutnya, macam strain dari Drosophila melanogaster  maupun faktor dari individu jantan.
Berdasarkan hal tersebut, proyek yang berjudul “Pengaruh Jeda Waktu Kopulasi Dan Macam Strain Terhadap Keberhasilan Kawin Kembali Betina Pada Drosophila melanogaster strain ro, e, dan tx” ini penting untuk dilakukan guna mengetahui pengaruh antara macam strain Drosophila melanogaster dan jeda waktu untuk terjadinya kopulasi berikutnya terhadap kemampuan untuk kawin kembali pada individu betina Drosophila melanogaster.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.    Apakah ada pengaruh jeda kopulasi terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina strain ro, e, dan tx?
2.    Apakah ada pengaruh macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina?
3.    Apakah ada interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.    Untuk mengetahui pengaruh jeda kopulasi terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina strain ro, e, dan tx.
2.    Untuk mengetahui pengaruh macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina.
3.    Untuk mengetahui interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina.

D.    Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1.    Menambah pengetahuan mengenai daya reseptivitas betina Drosophila melanogaster pada perkawinan kedua.
2.    Meningkatkan pemahaman, ketrampilan, kecermatan, serta ketelitian peneliti dalam melakukan kegiatan praktikum atau penelitian tentang daya reseptivitas betina Drosophila melanogaster pada perkawinan kedua.
3.    Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi jeda waktu yang dibutuhkan oleh Drosophila melanogaster betina untuk melakukan perkawinan kembali

E.     Asumsi Penelitian
Asumsi pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.    Semua aspek biologi Drosophila melanogaster yang digunakan pada penelitian ini dianggap sama kecuali warna tubuh dan bentuk sayap.
2.    Faktor internal Drosophila melanogaster seperti umur dianggap sama.
3.    Faktor eksternal Drosophila melanogaster seperti suhu, cahaya, kelembapan, kondisi medium sebagai tempat pembiakan, dan nutrisi yang dimakan Drosophila melanogaster  dianggap sama.

F.     Batasan Masalah
Batasan-batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Drosophila melanogaster yang digunakan adalah strain ro, e, dan tx.
2.    Jeda waktu antara kopulasi pertama dengan kedua adalah 0 jam, 6 jam, 18 jam, 24 jam,36 jam, dan 48 jam.
3.    Persilangan antara strain e♀ >< e♂, tx ♀ >< tx♂, ro ♀ >< ro, dan tx ♀ >< tx♂ kemudian setelah kopulasi pertama disilangkan dengan tx♂, e, ro pada persilangan kedua dengan lama waktu kopulasi 2 jam.
4.    Mengamati keturunan hanya sampai F1.
5.    Persilangan diulangi 2 kali pada setiap macam persilangan strain dan jeda waktu.
6.    Pengamatan fenotipe dan jenis kelamin dari keturunan F1 sampai hari ke-7 setelah lalat pertama menetas (hari ke-1).

G.    Definisi Operasional
1.    Kopulasi adalah persatuan seksual antara individu jantan dan betina
2.    Reseptivitas betina adalah kemampuan individu betina Drosophila melanogaster untuk melakukan perkawinan
3.    Jeda kopulasi, adalah periode waktu tertentu dimana individu betina Drosophila melanogaster belum reseptif terhadap individu jantan
4.    Seminal reseptakel dan spermateka adalah organ penyimpanan sperma sementara pada  Drosophila melanogaster betina
5.    Macam strain adalah macam mutasi yang terjadi pada Drosophila melanogaster



BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.  Klasifikasi Drosophila melanogaster
Klasifikasi Drosophila melanogaster  menurut Borror (1992), adalah sebagai berikut:
Kingdom    : Animalia
Phyllum      : Arthropoda
Kelas                      : Insecta
Ordo                       : Diptera
Gambar 2.1 Morfologi lalat buah Drosophila melanogaster
Famili                     : Drosophilidae
Genus                     : Drosophila
Spesies        : Drosophila melanogaster
Ciri-ciri umum Drosophila melanogaster memiliki panjang tubuh sekitar 3-4 mm dan berwarna kuning kecoklatan, dengan ujung anterior terdapat mikropil sebagai tempat masuknya spermatozoa ke dalam telur. Walau banyak sperma yang masuk, tetapi hanya satu yang dapat fertilisasi dengan pronukleus betina dan yang lainya berabsorpsi dalam jaringan embrio (Borror, 1992).  Siklus hidup D.melanogaster adalah sebagai berikut.

                           









Gambar 2.2 Siklus hidup lalat buah Drosophila melanogaster

B.  Pencapaian Kematangan Kelamin
Usia kematangan seksual antara individu jantan dan betina berbeda. Individu jantan akan mencapai kematangan seksual pada umur 12 jam setelah menetas, dan individu betina akan mencapai kematangan seksual pada umur 8 jam setelah menetas (Hartanti, 1998). Sedangkan menurut (Kiptiyah, 1998), individu betina mencapai kematangan seksual pada umur 24 jam dan lainnya pada umur 48 jam setelah menetas. Setelah mencapai kematangan seksual, akan terjadi kegiatan khusus sebelum terjadi kopulasi.
Menurut (Fowler, 1973) menyatakan biasanya betina yang baru menetas menolak kawin dengan jantan dan belum mencapai aktivitas maksimum sampai umur 48 jam. Ditambahkan oleh (Manning, 1976), penolakan ini dihubungkan dengan belum tercapainya kematangan ovarium dan pertambahan hormone remaja (Hartanti,  1998).
Kematangan seksual betina berkembang beberapa hari setelah penetasan, dan betina yang belum mengalami kedewasaan seksual akan menolak cumbuan dari jantan dengan cara berlari, melompat, menendang, dan mengibaskan sayapnya (Kowalski dkk, 2004)
Secara sitologi sperma mulai bergerak pada Drosophila melanogaster  jantan 8 jam setelah menetas, dan sperma mulai bergerak pada bagian terminal dari testis melalui katub terticulodiferensial menuju vesikula seminalis antara 6-10 jam (Khisin, 1995) dalam (Muliati, 2000).

C.  Tahap Pacaran Drosophila melanogaster
Untuk memilih pasangannya, lalat buah (Drosophila melanogaster) jantan dan betina melakukan sebuah duet tingkah laku yang menawarkan sebuah model untuk mempelajari rangkaian saraf pada tingkah laku sosial bawaan. Jantan memiliki gerakan tersendiri untuk mengajak betina melakukan kopulasi, seperti mengikuti betina, membuat lagu menggunakan sayap yang mengembang, tapping, dan menjilat kelamin betina, dan akhirnya kopulasi (Dickson dalam Bussel dkk, 2014).
Individu jantan saat  pacaran mendahului perkawinan dan itu diperlukan untuk merangsang daya reseptivitas atau kemampuan untuk kawin pada individu betina . Pacaran meliputi orientasi terhadap individu betina , kaki depan individu jantan menekan perut betina , mengikuti betina , melakukan getaran sayap untuk menghasilkan suatu  “lagu pacaran” , menjilati bagian genital individu betina dan mencoba untuk kopulasi (Bretman, 2010).
Proses pacaran dan perkawinan pada Drosophila melanogaster. Selama proses pacaran, Drosophila melanogaster betina lebih memilih berhenti sejenak daripada mengurangi kecepatan berjalannya. Maksudnya, jika betina itu sudah cocok dengan jantan, maka betina tersebut akan berhenti untuk melanjutkan tahap pacaran. Seperti yang dikemukakan oleh (Bussel, 2014), We also attribute the historically noted slowing down of receptive females to punctuated bouts of pausing during courtship rather than decreased walking speed. Pausing behavior is specific to female receptivity: it is decreased in both unreceptive females and in mature virgin females not being actively courted by a male. The increased level of pausing associated with receptivity requires the integration of multiple sensory inputs, including song, from a courting male.
Ditambahkan oleh Shorey 1962, Ewing 1964, Manning 1967 dalam (Kowalski dkk, 2014), sinyal akustik diproduksi oleh getaran sayap jantan terhadap betina. Getaran itu berperan penting selama pacaran. Kesuksesan jantan mencocokkan betina akan berkurang secara drastis saat sayapnya terpotong atau saat organ pendengarannya terletak pada segmen antena ketiga, atau aristanya terpotong.
Berkaitan dengan stimulus pendengaran, (Manjunatha, 2008), mengemukakan bahwa individu jantan menghasilkan bunyi dari vibrasi sayap. Bunyi ini terdiri dari rangkaian pulsa. Pulsa ini nampak berupa gelombang sinus dan berakhir dalam waktu milisekon. Ternyata besarnya sayap berhubungan dengan kesuksesan kawin individu jantan tersebut dibandingkan dengan individu betina.
Setiap spesies Drosophila memiliki lama kopulasi yang berbeda-beda. Grant dalam (Singh, 2003) menyatakan terdapat perbedaan yang jelas pada durasi kopulasi spesies Drosophila. Faktor-faktor tersebut bergantung pada sperma jantan, status perkawinan betina dan bentuk ovipositornya, ukuran jantan, dan umur jantan. Umumnya, kopulasi yang lebih lama mengantar suksesnya reproduksi bagi jantan.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kawin kembali dari Drosophila melanogaster adalah ukuran badan betina. Menurut (Long dkk, 2010), betina yang berukuran kecil lebih memungkinkan untuk dikawini jantan daripada yang berukuran besar. Hal ini sesuai dengan saluran penyimpan cairan seminalnya.

D.  Daya Reseptivitas Betina
Reseptivitas seksual betina menawarkan model yang sempurna untuk mempelajari tingkah laku Drosophila melanogaster. Betina harus mempertimbangkan bagian reproduksinya, lingkungan eksternal, dan sensor yang diberikan oleh jantan untuk melakukan kopulasi (Bussel et.al, 2014). Jantan membuat susunan petunjuk sensori selama tahap pacaran, termasuk kontak dan feromon, serta lagu. Tidak diketahui sinyal mana yang akan ditangkap oleh betina. Semua sinyal itu akan diatur oleh serangkaian saraf pada betina (Bussel et.al, 2014). 
Menurut (Kowalski et.al, 2014), lagu pacaran yang dibuat oleh jantan Drosophila melanogaster terlibat dalam pengenalan spesies dan stimulasi seksual. Sinyal ini biasanya ditujukan kepada betina untuk mengurangi pergerakannya, sehingga dapat memfasilitasi kopulasi. Selain sinyal suara, sinyal visual dan kimia juga mempengaruhi reseptivitas betina.
Menurut (Shorrock, 1972 & Fowler, 1973) dalam (Indayati, 1999) menyatakan bahwa individu betina akan melakukan perkawinan setelah mencapai kematangan seksual. Hal ini berhubungan dengan kematangan ovarium, yaitu pada umur 48 jam setelah menetas. Pada umur ini secara seksual individu betina sudah dapat menerima kehadiran individu jantan untuk melakukan perkawinan. Keadaan individu betina yang seperti ini dikatakan keadaan yang reseptif (Fowler, 1973 dalam Kiptiyah, 1998).
Menurut (Corebima, 1997) menyatakan bahwa sudah dapat dipastikan ada feromon yang mempunyai peranan penting pada periode pacaran Drosophila. Ditambahkan lagi, Feromon-feromon pada Drosophila melanogaster merupakan senyawa-senyawa hasil metabolisme yang berfungsi sebagai suatu “karangan bunga” bagi individu jantan. Dikatakan pula bahwa feromon-feromon itu adalah semacam hormon yang menyebar melalui udara yang berfungsi untuk mempengarui tingkah laku individu yang masih tergolong sesama jenis.
Banyak protein yang diproduksi oleh kelenjar asesori jantan Drosophila melanogaster yang tercampur dengan sperma saat ejakulasi dan ditransfer ke saluran reproduksi betina yang memefasilitasi penyimpanan sperma, kapasitasi, dan tingkah laku bawaan setelah reproduksi (Avilla dkk dalam Sun, 2013). Seperti sex peptide, yang meningkatkan peletakan telur dan mengurangi reseptivitas betina dengan berikatan ke reseptor spesifik pada neuron sensori pada saluran reproduksi betina (Sun & Allan, 2013).

E.  Kemampuan Kawin Kembali Drosophila melanogaster
Perkawinan kembali betina merupakan komponen penting dari sistem kawin Drosophila. Hal ini karena setelah kawin, betina menyimpan sejumlah besar sperma di sepasang spermathecae dan reseptakulum seminalis. Drosophila memanfaatkan sperma tersebut untuk membuahi telur. Setelah betina Drosophila perawan telah dikawinkan, dia biasanya tidak mau untuk menerima jantan lain untuk beberapa waktu karena perubahan terjadi perilaku dan fisiologis, termasuk penurunan daya tarik terhadap jantan, penurunan reseptivitas untuk kawin kembali, peningkatan tingkat oogenesis, ovulasi, dan oviposisi, penyimpanan dan penggunaan sperma, dan pengurangan masa hidup (Singh, 2003).
Menurut (Kalb dkk, 1993), pada serangga, perkawinan menyebabkan betina mengalami perubahan tingkah laku dan fisiologis yang berlangsung selama beberapa hari. Setelah kawin, betina meletakkan telurnya dan menolak pacaran dan kawin dari jantan selanjutnya. Mereka menyimpan dan menggunakan sperma yang telah diterimanya. Pada Drosophila melanogaster, perubahan tingkah laku itu didasari oleh bagian dari sperma dan bagian dari cairan seminal. Cairan tersebut diyakini menyebabkan pengurangan reseptivitas yang disebut dengan efek kopulasi, tapi dalam masa yang lebih panjang hal itu disebut sebagai efek sperma. Hal itu berhubungan dengan keberadaan sperma pada organ penyimpanan sperma pada betina. Menurut (Chapman, 2013), pada Drosophila melanogaster akan mampu melakukan perkawinan kembali sekitar 48 jam setelah perkawinan sebelumnya.
Setelah melakukan perkawinan pertaman, Drosophila melanogaster tidak akan menerima jantan untuk kawin lagi beberapa hari. Sesuai dengan pendapat (Bussel dkk, 2014) yang menyatakan setelah kawin, betina Drosophila untuk sementara menjadi tidak reseptif dimana mereka akan melakukan penutupan ovipositor sebagai gerakan untuk menolak ajakan kawin dari jantan berikutnya. Respon setelah kawin ini dipicu oleh hormon peptida sex. Hormon tersebut diaktivasi oleh Sex Peptide Receptor (SPR) sebagai sub bagian pada neuron sensori sistem reproduksi betina.
Salah satu jenis dari peptida seks adalah esterase 6, merupakan enzim yang dihasilkan oleh individu jantan yang terkandung dalam cairan ejakulasi. Esterase 6 berperan dalam pengosongan organ penyimpanan sperma (reseptakulum seminalis dan spermateka) pada betina untuk mempercepat proses pembuahan. Hal tersebut mengakibatkan perangsangan terhadap daya reseptivitas betina muncul kembali (Chapman, 2013).
Selain itu menurut (Herman, 1981) dalam (Kiptiyah, 1998) menyebutkan bahwa perkawinan kembali individu betina tergantung oleh tipe terdahulu yang diterimanya. Betina yang telah melakukan perkawinan akan mengingat tingkah laku jantan yang mengawininya. Betina tersebut akan mengingat hal itu untuk  beberapa jam. Sehingga jika ada jantan lagi yang ingin mengawininya, betina ini akan melakukan adaptasi terlebih dahulu. Biasanya dibutuhkan waktu beberapa saat, tidak langsung berhasil beradaptasi.






BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

A.  Kerangka Konseptual
Pada penelitian ini menggunakan penjabaran kerangka konseptual sebagai berikut:
Menulis data dan menganalisis data, Membahas dan membuat kesimpulan

Menulis data dan menganalisis data, Membahas dan membuat kesimpulan

Perkembangbiakan lalat buah Drosophila melanogaster secara seksual dengan perkawinan
D. melanogaster jantan dan betina yang telah mencapai kedewasaan seksual disilangkan sebagai perkawinan pertama
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan lalat buah Drosophila melanogaster
Macam strain Drosophila melanogaster (strain ro, e, dan tx)
Lama jeda waktu setelah kopulasi pertama (0, 6, 18, 24, 36, 48 jam)
Reseptivitas individu betina lalat buah Drosophila melanogaster
Penghitungan jumlah fenotip F1 dari setiap perlakuan macam strain (ro, e, dan tx) lama jeda waktu setelah kopulasi pertama (0, 6, 18, 24, 36, 48 jam)

Menulis data dan menganalisis data, Membahas dan membuat kesimpulan

 


























B.  Hipotesis Penelitian
Pada penelitian ini dapat dirumuskan beberapa hipotesis sebagai berikut.
1.    Ada pengaruh jeda kopulasi terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina strain ro, e, dan tx.
2.    Ada pengaruh macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina.
3.    Ada interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina


BAB IV
METODE PENELITIAN

A.  Rancangan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Hal ini berdasarkan adanya perlakuan yang diberikan berupa macam strain yaitu ro, e, dan tx dan jeda waktu untuk perkawinan kedua (0 jam, 6 jam, 18 jam, 24 jam, 36 jam dan 48 jam) yang merupakan variabel bebas. Variabel terikatnya adalah adanya perkawinan kedua dengan adanya indikator strain baru pada F1. Rancangan penelitian dilakukan dengan RAK (rancangan Acak Kelompok) dengan Anava Ganda. Penggunaan RAK dengan Anava Ganda ini didasarkan pada penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui dua faktor yaitu pengaruh antara jeda kopulasi dan macam strain pada kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina. Sehingga digunakan anava ganda.

B.  Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dimulai sejak tanggal 16 September sampai bulan November 2014 yang dilakukan di Laboratorium Genetika (Gedung Biologi, 310) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang.

C.  Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua Drosophila melanogaster yang merupakan stok yang telah disediakan oleh Laboratorium Genetika (Gedung Biologi, 310) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Drosophila melanogaster strain ro, e, dan tx.





D.  Alat dan Bahan
1.    Alat
Botol selai, busa, selang ampul, gunting, cutter, pisau, kardus, kuas, blender, kompor gas, kain kasa, plastic, mikroskop stereo, panci, pengaduk, spidol, botol balsam, tupper ware ,dan karet.
2.    Bahan
Kertas pupasi, kertas label, pisang rajamala, tape singkong, gula merah, yeast, air, dan Drosophila melanogaster strain ro, e, dan tx.

E.  Prosedur Kerja
1.    Pembuatan medium
a.    Menyiapkan pisang raja mala, tape singkong dan gula merah.
b.    Menimbang 700 gram pisang raja mala, 200 gram tape singkong dan 100 gram gula merah (perbandingan 7:2:1).
c.    Mengiris kecil-kecil ketiga bahan di atas dengan pisau
d.   Menambahkan sedikit air dan memblendernya sampai halus.
e.    Mencairkan gula merah 100 gram dengan air secukupnya.
f.     Setelah bahan tersebut halus, kemudian memasukkannya ke dalam panci dan memasaknya.
g.    Jika sudah mendidih, tambahkan gula yang cair ke dalam panic dan memasaknya selama ± 45 menit sambil diaduk.
h.    Setelah medium masak, kemudian memasukkannya ke dalam botol selai (masih dalam keadaan panas), menutupnya dengan spons dan merendamnya di air dingin sampai medium tersebut dingin.
i.      Setelah dingin, bagian dalam botol medium di lap dengan tissue kemudian menambahkan ± 3-5 butir yeast ke dalam medium.
j.      Memasukkan kertas pupasi.

2.    Penyediaan stok dan pengampulan
a.    Memasukkan beberapa pasangan (3-5) jantan dan betina Drosophila melanogaster strain dp, b atau N  ke dalam botol-botol berisi medium yang telah disediakan kemudian memberi label sesuai strain dan tanggal pemasukannya.
b.    Menunggu beberapa hari sampai muncul pupa hitam. Jika telah terdapat pupa hitam, maka pupa tersebut diambil dengan kuas kecil kemudian dimasukkan ke dalam selang kecil yang didalamnya telah diisi dengan potongan pisang kecil (teknik ini disebut mengampul) kemudian ditutup dengan busa (tempat ini disebut selang ampul).
c.    Menunggu beberapa hari sampai pupa tersebut berkembang.

3.    Persilangan
a.    Menyilangkan e♀ >< e♂, tx♀ >< tx♂, ro♀ >< ro, dan tx♀ >< tx
b.    Setelah kopulasi selesai, individu jantan dilepaskan
c.    Setelah persilangan pertama dengan jeda waktu 0 jam, 6 jam , 18 jam, 24 jam, 36 jam dan 48 jam dilakukan persilangan kedua e♀ >< tx(♂ baru), tx♀ >< e (♂ baru), ro♀ >< e (♂ baru), tx♀ >< ro (♂ baru)   yang diambil dari ampulan.
d.   Persilangan kedua dengan lama waktu 2 jam maka jantan dilepas.
e.    Setelah ada larva, individu betina dipindah kemedium baru yaitu botol A, B, C, dan D
f.     Setiap perlakuan diulang 2 kali ulangan

F.   Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan cara mengamati dan menghitung fenotipe dan jumlah individu jantan dan individu betina pada F1 hari pertama sampai hari ketujuh. Hasil pengamatan dan penghitungan dimasukkan ke dalam tabel seperti berikut :
Perlakuan
Ulangan
Fenotipe
♀/♂
Hari ke
Σ
1
2
3
4
5
6
7






















































G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menganalisis ada tidaknya fenotip baru yang muncul dalam persilangan dengan perlakuan jeda waktu kopulasi tertentu. Data yang diperoleh di homogenkan dan dilanjutkan dengan uji statistika Rancangan Acak Kelompok (RAK) anava ganda, untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh jeda waktu kopulasi pertama dengan kedua dan strain terhadap kemunculan strain baru.




BAB V
DATA DAN ANALISIS DATA
A.    Data
Data fenotip Drosophila melanogaster yang diamati dalam penelitian ini adalah:
·         Strain e
1.    Warna mata merah
2.    Faset mata halus
3.    Sayap menutupi tubuh dengan sempurna
4.    Warna tubuh coklat kehitaman

·         Strain ro
1.      Warna mata merah
2.      Faset mata kasar
3.      Sayap menutupi tubuh dengan sempurna
4.      Warna tubuh kuning kecoklatan
 


·         Strain tx
1.      Warna mata merah
2.      Faset mata halus
3.      Sayap membuka ke samping
4.      Warna tubuh kuning kecoklatan

B.     Analisis Data
Berikut adalah penyederhanaan perolehan data pengaruh jeda waktu dan macam strain terhadap kemampuan kawin kembali strain ro >< ♂ ro >< ♂e, ♀ e >< ♂ e >< ♂tx, ♀ tx >< ♂ tx >< ♂e dan ♀ tx >< ♂ tx >< ♂ro :
Tipe persilangan
Jeda waktu (jam)
Fenotip
sex
Ulangan
Jml
Total
1
2
♀ ro >< ♂ ro >< ♂e
0
ro
154

154
245

91

91
e
-



-



N
-



-


6
ro
136

136
225

89

89
e
-



-



N
-



-


18
ro
124

124
207

83

83
e
-



-



N
-



-


24
ro
110

110
186

76

76
e
-



-



N
-



-


36
ro
102

102
166

64

64
e
-



-



N
-



-



48

ro
38*




30*



e
-



-



N
*



*


Tipe persilangan
Jeda waktu (jam)
Fenotip
sex
Ulangan
Jml
Total
1
2
♀ e >< ♂ e >< ♂tx
0
e
70

70
117

47

47
tx
-



-



     N
-



-


6
e
72

72
122

50

50
tx
-



-



N
-



-


18
e
68

68
106

38

38
tx
-



-



N
-



-


24
e
61

61
101

40

40
tx
-



-



N
-



-


36
e
59

59
102

43

43
tx
-



-



N
-



-



48

e
28*




21*



tx
-



-



N
*



*


Tipe persilangan
Jeda waktu (jam)
Fenotip
sex
Ulangan
Jml
Total
1
2
♀ tx >< ♂ tx >< ♂e
0
tx
57

57
96

39

39
e
-



-



N
-



-


6
tx
60

60
105

45

45
e
-



-



N
-



-


18
tx
50

50
87

37

37
e
-







N
-






24
tx
60

60
100

40

40
e
-



-



N
-



-


36
tx
40

40
75

35

35
e
-



-



N
-



-



48

tx
22*




18*



e
-



-



N
*



*


Tipe persilangan
Jeda waktu (jam)
Fenotip
sex
Ulangan
Jml
Total
1
2
♀ tx >< ♂ tx >< ♂ro
0
tx
60

60
109

49

49
ro
-



-



N
-



-


6
tx
59

59
123

64

64
ro
-



-



N
-


-


18
tx
40

40
96

56

56
ro
-



-



N
-



-


24
tx
59

59
106

47

47
ro
-



-



N
-



-


36
tx
61

61
107

46

46
ro
-



-



N
-



-



48

tx
20*




13*



ro
-



-



N
9*



14*


Keterangan : * = Pengamatan belum penuh sampai pemindahan botol D (dalam proses pengamatan)
Rekonstruksi kromosom
a. Persilangan tipe 1(ro >< ♂ ro >< ♂e)
Parental :         ♀ ro >< ♂ ro
Genotip :         ro >< ro
                        ro      ro
Gamet   :         ro, ro
F1          :         ro  (ro)
ro

Parental :         ♀ ro >< ♂e                            
Genotip :         e+ro >< ero+
                        e+ro      ero+
Gamet :               e+, ro, e, ro+
F1        :           e+ro (N)
                        ero+

b.                  Persilangan tipe 2(♀ e >< ♂ e >< ♂tx)
Parental :         e♀ >< e
Genitip   :        e >< e
                        e      e
Gamet    :        e, e
F1           :        e (e)
                        e

Parental  :        ♀ e >< ♂tx
Genotip  :        e tx+  >< e+tx
                        e tx+      e+tx
Gamet    :        e,  tx+, e+, tx
F1          :         e tx+  (N)
e+tx
c.       Persilangan tipe 3 (♀ tx >< ♂ tx >< ♂e)
Parental :         tx♀ >< tx
Genitip   :        tx >< tx
                        tx      tx
Gamet    :        tx, tx
F1           :        tx (tx)
                        tx

Parental  :        tx >< ♂e
Genotip  :        e+ tx >< e tx+
                        e+ tx        e tx+
Gamet    :        e+, tx, e,  tx+,
F1          :         e+ tx (N)
e tx+
d.      Persilangan tipe 4 (tx >< ♂ tx >< ♂ro)
Parental :         tx♀ >< tx
Genitip   :        tx >< tx
                        tx      tx
Gamet    :        tx, tx
F1           :        tx (tx)
                        tx

Parental  :        tx >< ♂ro
Genotip  :        ro+ tx >< ro tx+
                        ro­+tx        ro tx+
Gamet    :        ro­+,  tx, ro,  tx+,
F1          :         ro+ tx (N)
ro tx+

Pada pengamatan yang telah dilakukan pada tipe persilangan (ro >< ♂ ro >< ♂e) yaitu pada saat perkawinan homogami setelah melakukan kopulasi jantan pertama dilepas dan individu betina dibiarkan sendiri selama jeda waktu tertentu dan disilangkan kembali dengan perkawinan heterogami dengan lama waktu persilangan selama 2 jam. Hasil dari persilangan dengan perlakuan jeda waktu 0,6, 18, 24 dan 36 jam tidak ditemukan anakan yang memiliki fenotip strain N sesuai hasil rekonstruksi kromosom tetapi hanya ditemukan anakan yang memiliki fenotip sama dengan indukan pertama yaitu fenotip ro , ♂ ro. Tetapi pada persilangan dengan jeda waktu kopulasi 48 jam belum dapat dianalisis karena data yang diperoleh belum lengkap hingga pengamatan fenotip botol D.
Pada pengamatan yang telah dilakukan pada tipe persilangan (♀ e >< ♂ e >< ♂tx) yaitu pada saat perkawinan homogami setelah melakukan kopulasi jantan pertama dilepas dan individu betina dibiarkan sendiri selama jeda waktu tertentu dan disilangkan kembali dengan perkawinan heterogami dengan lama waktu persilangan selama 2 jam. Hasil dari persilangan dengan perlakuan jeda waktu 0, 6, 18, 24 dan 36 jam tidak ditemukan anakan yang memiliki fenotip strain N sesuai hasil rekonstruksi kromosom tetapi hanya ditemukan anakan yang memiliki fenotip sama dengan indukan pertama yaitu fenotip ♀ e, ♂ e. Tetapi pada persilangan dengan jeda waktu kopulasi 48 jam belum dapat dianalisis karena data yang diperoleh belum lengkap hingga pengamatan fenotip botol D.
Pada pengamatan yang telah dilakukan pada tipe persilangan (♀ tx >< ♂ tx >< ♂e) yaitu pada saat perkawinan homogami setelah melakukan kopulasi jantan pertama dilepas dan individu betina dibiarkan sendiri selama jeda waktu tertentu dan disilangkan kembali dengan perkawinan heterogami dengan lama waktu persilangan selama 2 jam. Hasil dari persilangan dengan perlakuan jeda waktu 0,6, 18, 24 dan 36 jam tidak ditemukan anakan yang memiliki fenotip strain N sesuai hasil rekonstruksi kromosom tetapi hanya ditemukan anakan yang memiliki fenotip sama dengan indukan pertama yaitu fenotip ♀ tx, ♂ tx. Tetapi pada persilangan dengan jeda waktu kopulasi 48 jam belum dapat dianalisis karena data yang diperoleh belum lengkap hingga pengamatan fenotip botol D.
Pada persilangan (tx >< ♂ tx >< ♂ro) dengan perlakuan jeda waktu kopulasi 0,6, 18, 24 dan 36 jam hasil anakannya memiliki fenotip seperti indukan pertama yaitu fenotip ♀ tx, ♂ tx , tetapi untuk persilangan dengan jeda waktu 48 jam ditemukan anakan dengan fenotip strain N meskipun data yang diperoleh belum lengkap.
Dari deskripsi data diatas, perlakuan persilangan 0 jam – 36 jam tidak ditemukan anakan yang mempunyai ciri fenotip strain  N yang berdasarkan hasil rekonstruksi yang telah dibuat, kemunculan fenotip N pada F1 yaitu menandakan adanya keberhasilan dalam kopulasi dengan jantan yang ke 2 karena heterogami sehingga akan dibentuk anakan strain N tetapi pada percobaan ditemukan F1 yang berfenotip sama dengan indukan pertama dari kopulasi yang pertama karena reseptivitas betina terjadi 2 hari sekali. Sehingga membutuhkan minimal 48 jam untuk perkawinan kedua agar diperoleh anakan strain N.




BAB VI
PEMBAHASAN

A.  Pengaruh jeda kopulasi terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina strain ro, e, dan tx.
Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh pada persilangan dengan jeda waktu kopulasi 0 jam, 6 jam, 18 jam, 24 jam, 36 jam, dan 48 jam belum di dapatkan F1 strain baru pada persilangan ro♀ >< ro♂ >< e♂, e♀ >< e♂ >< tx♂, dan tx♀ >< tx♂ >< e♂. Sedangkan pada persilangan tx♀ >< tx♂ >< ro♂ untuk jeda waktu kopulasi 48 jam sudah teramati munculnya strain baru meskipun pengamatan belum selesai sampai botol D.
Pembahasan diutamakan dari hasil persilangan Drosophila melanogaster strain tx♀ >< tx♂ >< ro♂ yang telah mendapatkan data hingga jeda waktu kopulasi 48 jam. Berdasarkan hasil yang diperoleh ternyata sudah sesuai dengan sumber literatur dimana perubahan daya reseptivitas atau kemampuan untuk kawin kembali pada banyak spesies serangga dipengaruhi oleh lama interval jeda antara kopulasi pertama dengan kopulasi selanjutnya. Pada Drosophila melanogaster akan mampu melakukan perkawinan kembali sekitar 48 jam setelah perkawinan sebelumnya (Chapman, 2013).
Menurut (Kalb dkk, 1993), pada serangga, perkawinan menyebabkan betina mengalami perubahan tingkah laku dan fisiologis yang berlangsung selama beberapa hari. Setelah kawin, betina meletakkan telurnya dan menolak pacaran dan kawin dari jantan selanjutnya. Mereka menyimpan dan menggunakan sperma yang telah diterimanya. Pada Drosophila melanogaster, perubahan tingkah laku itu didasari oleh bagian dari sperma dan bagian dari cairan seminal. Cairan tersebut diyakini menyebabkan pengurangan reseptivitas yang disebut dengan efek kopulasi, tapi dalam masa yang lebih panjang hal itu disebut sebagai efek sperma. Hal itu berhubungan dengan keberadaan sperma pada organ penyimpanan sperma pada betina.
Penghentian reseptivitas betina setelah perkawinan pertama dikarenakan dua hal, yaitu (1) efek kopulasi yang menyebabkan pembesaran ukuran alat genital individu betina, dan (2) efek sperma yang mengakibatkan pembekakkan karena keberadaan sperma yang menyebabkan epitel vagina mengeluarkan cairan melimpah dalam  waktu 1-2 jam setelah perkawinan.
Setelah melakukan perkawinan pertama, Drosophila melanogaster tidak akan menerima jantan untuk kawin lagi beberapa hari. Sesuai dengan pendapat (Bussel dkk, 2014) yang menyatakan setelah kawin, betina Drosophila untuk sementara menjadi tidak reseptif dimana mereka akan melakukan penutupan ovipositor sebagai gerakan untuk menolak ajakan kawin dari jantan berikutnya. Respon setelah kawin ini dipicu oleh hormon peptida sex. Hormon tersebut diaktivasi oleh Sex Peptide Receptor (SPR) sebagai sub bagian pada neuron sensori sistem reproduksi betina.
Banyak protein yang diproduksi oleh kelenjar asesori jantan Drosophila melanogaster yang tercampur dengan sperma saat ejakulasi dan ditransfer ke saluran reproduksi betina yang memefasilitasi penyimpanan sperma, kapasitasi, dan tingkah laku bawaan setelah reproduksi (Avilla dkk dalam Sun, 2013). Seperti sex peptide, yang meningkatkan peletakan telur dan mengurangi reseptivitas betina dengan berikatan ke reseptor spesifik pada neuron sensori pada saluran reproduksi betina (Sun & Allan, 2013).
Peptida seks tersebut mampu masuk ke sistem sirkulasi lalu mencapai sistem saraf pusat sehingga mempengaruhi proses oogenesis dari individu betina. Proses oogenesis berperan penting terhadap pematangan sel telur untuk proses perkawinan selanjutnya. Apabila proses pematangan sel telur ini terhambat akan mengakibatkan daya reseptivitas betina menurun. Hal tersebut mengakibatkan betina Drosophila melanogaster baru bisa melakukan kawin kembali 48 jam setelah perkawinan awal.
Salah satu jenis dari peptida seks adalah esterase 6, merupakan enzim yang dihasilkan oleh individu jantan yang terkandung dalam cairan ejakulasi. Esterase 6 berperan dalam pengosongan organ penyimpanan sperma (reseptakulum seminalis dan spermateka) pada betina untuk mempercepat proses pembuahan. Hal tersebut mengakibatkan perangsangan terhadap daya reseptivitas betina muncul kembali (Chapman, 2013).


B.  Pengaruh macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, tiap strain memiliki pengaruh yang berbeda untuk mencapai reseptivitas. Hal ini berkaitan dengan sinyal-sinyal yang dapat dihasilkan oleh kedua individu ketika melakukan perkawinan dari masing-masing strain.
Daya reseptivitas betina terutama pada Drosophila melanogaster dipengaruhi oleh peptida seks yang terkandung dalam cairan ejakulasi individu jantan. Namun sebelum terjadinya proses kopulasi dalam perkawinan selalu diawali dengan proses pacaran. Keberhasilan proses pacaran tersebut juga berdampak pada terjadinya proses kopulasi.
Tingkah laku perkawinan Drosophila melanogaster dimediasi oleh beberapa stimulus antara lain stimulus penglihatan (visual signals), stimulus bau dan aliran udara (olfactory and gustatory signals), stimulus pendengaran (auditory signals), dan stimulus taktil (tactile signals). Berkaitan dengan stimulus pendengaran, (Manjunatha, 2008), mengemukakan bahwa individu jantan menghasilkan bunyi dari vibrasi sayap. Bunyi ini terdiri dari rangkaian pulsa. Pulsa ini nampak berupa gelombang sinus dan berakhir dalam waktu milisekon. Ternyata besarnya sayap berhubungan dengan kesuksesan kawin individu jantan tersebut dibandingkan dengan individu betina.
Pada strain yang digunakan oleh peneliti, terdapat strain yang mengalami mutasi sayap yaitu strain tx. Sayap yang ada pada strain tx berbeda dengan strain ro dan e, dimana sayapnya membuka ke samping. Dimungkinkan mutasi sayap dari strain ini mengakibatkan proses pacaran yang terjadi tidak berhasil. Bila proses pacaran tidak berhasil, maka proses kopulasi juga tidak akan berhasil.
Selain itu menurut (Herman, 1981) dalam (Kiptiyah, 1998) menyebutkan bahwa perkawinan kembali individu betina tergantung oleh tipe terdahulu yang diterimanya. Hal ini menandakan bahwa adanya adaptasi pola kopulasi pada Drosopila betina dengan jantan pertama. Sehingga betina itu akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan jantan kedua. Seperti yang dikemukakan oleh (Billeter dkk, 2011) interaksi sosial dalam kelompok Drosophila melanogaster disebabkan oleh adanya Indirect Genetic Effect (IGE) yang membuat fenotip dari suatu individu mempengaruhi tingkah laku individu yang lain.  Artinya, tidak semua strain dapat beradaptasi satu sama lain dalam persilangan heterogami. Strain-strain itu masih memilah-milah pasangannya.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kawin kembali dari Drosophila melanogaster adalah ukuran badan betina. Menurut (Long dkk, 2010), betina yang berukuran kecil lebih memungkinkan untuk dikawini jantan daripada yang berukuran besar. Hal ini sesuai dengan saluran penyimpan cairan seminalnya. Jika mengawini betina yang lebih besar, jantan harus berfikir lagi. Jantan harus mengeluarkan banyak cairan seminal saat mengawini betina dengan tubuh yang besar. Namun disini, peneliti menganggap ukuran tubuh strain yang digunakan sama besarnya.

C.  Interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina
Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh, peneliti belum bisa menentukan apakah ada hubungan antara lama jeda kopulasi dan macam strain Drosophila melanogaster. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi pada kedua faktor tersebut. Pertama, terdapat interaksi antara lama jeda kopulasi dan macam strain terhadap keberhasilan kawin kembali Drosophila melanogaster. Kedua, tidak terdapat interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain terhadap keberhasilan kawin kembali Drosophila melanogaster.
Jika terdapat interaksi antara dua faktor itu, maka keduanya akan saling mempengaruhi. Jeda kopulasi menentukan lama waktu yang dibutuhkan betina Drosophila melanogaster untuk reseptif kembali. Sedangkan macam strain berpengaruh untuk menentukan apakah perkawinan berhasil atau tidak. Bila jeda kopulasi sudah terpenuhi, artinya betina sudah reseptif kembali, namun macam strain yang diberikan untuk perkawinan kedua gagal beradaptasi dengan betina maka perkawinan tidak akan berhasil dan begitu pula sebaliknya.  Keberhasilan perkawinan dapat dilihat dari adanya strain baru pada anakan yaitu strain N.
Jika kedua faktor tidak berpengaruh terhadap keberhasilan kawin kembali Drosophila melanogaster, maka anakan yang dihasilkan mulai dari perlakuan 0 jam – 48 jam dimungkinkan akan muncul strain baru yaitu N. Saat jeda kopulasi tidak berpengaruh, maka betina Drosophila melanogaster akan kawin lagi dengan jantan tanpa memperhatikan keadaan reseptifnya. Begitu pula jika macam strain tidak berpengaruh. Betina Drosophila melanogaster akan bersedia kawin dengan strain apapun tanpa mengalami kesulitan adaptasi.




BAB VII
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diperoleh kesimpulan sementara sebagai berikut:
1.    Ada pengaruh jeda waktu kopulasi terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina strain ro, e, dan tx..
2.    Ada pengaruh macam strain ro, e, dan tx terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina.
3.    Ada interaksi antara jeda kopulasi dan macam strain berpengaruh terhadap kemampuan kawin kembali Drosophila melanogaster betina.

B.  Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti antara lain:
1.    Melakukan persilangan sebaiknya ditempat yang sempit untuk persilangan pertama dan dalam keadaan tenang agar cepat terjadi kopulasi
2.    Sebaiknya dalam melakukan persilangan, dilakukan pada betina yang berumur minimal 2 hari setelah menetas, dan inividu jantan minimal 12 jam setelah menetas.
3.    Sebaiknya pengamatan dilakukan dengan ketelitian agar didapatkan fenotipe yang sesuai.
4.    Sebaiknya lebih sering meremajakan agar lebih banyak didapatkan ampulan.
5.    Sebaiknya lebih menjaga kebersihan medium agar tidak terjangkit kutu





Daftar Rujukan

Billeter, Jean-Christophe et.al. 2011. Drosophila melanogaster females change mating behaviour and offspring production based on social context. (Online), (http://www.rug.nl/staff/j.c.billeter/billeteretal.2011.pdf), diakses 21 November 2014.

Borror, I. J. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. SEogseakarta: Gajah Mada Universitse Press.

Bretman, Amanda et.al. 2010. A Mating Plug Reduces Early Remating in Drosophila melanogaster. Journal of Insect Physiology. 56. (Online), www.elsevier.com/locate/jinsphys. diakses 20 November 2014.

Bussel, J.J et.al. 2014. Abdominal-B Neurons Control Drosophila Virgin Female Receptivity. (Online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24998527), diakses 20 November 2014.

Chapman, R. F. 2013. The Insects: Structure and Function. Edisi kelima. New York: Cambridge University Press.

Corebima, A.D. 1997. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press.

Hartanti, Sri. 1998. Studi Kecepatan Kawin, Lama Kopulasi, dan Jumlah Turunan Drosophila melanogaster Strain Black dan Sephia pada Umur Dua Hari Dan Tiga Hari. Skripsi tidak diterbitkan: IKIP Malang.

Indayati, Nur. 1999. Pengaruh Umur Betina dan Macam Strain Jantan Etrhadapa Keberhasilan Kawin Kembali Individu Betina Drosophila melanogaster. Skripsi tidak diterbitkan: IKIP Malang.

Kalb, John M et.al. 1993. Probing the function of Drosophila melanogaster accessory glands by directed cell ablation. (Online), (http://www.pnas.org/content/90/17/8093.full.pdf), diakses 21 November 2014.
Kiptiyah. 1998. Studi Jumlah Turunan Inidividu Jantan Pertama dan Kecenderungan Kemunculanya Pada Perkawian Kemabali Individu Betina Serta Dominasi Turunan Individu Jantan kedua: kajian pada Drosophila melanogaster. Skripsi tidak diterbitkan: IKIP Malang

Kowalski, Solange et.al. 2004. Courtship song in Drosophila melanogaster: a differential effect on male-female locomotor activity. (Online), (http://www.cb.u-psud.fr/pdf/kowal_CanJZool2004.pdf), diakses 20 November 2014.

Long, Tristan A.F et.al. 2010. Remating in Drosophila melanogaster: Are Indirect benefits condition-dependent?.(Online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2930934/.pdf), diakses 21 November 2014.
Manjunatha, T., Hari Dass S. and Sharma V. K. 2008 Egg-laying rhythum in Drosophila melanogaster. J. Genet. 87.

Markow, Therese Ann. 1988. Reproductive Behavior of Drosophila melanogaster and D. nigrospiracula in the Field and in the Laboratory. Journal of Comparative Psychology. 102 (2), (Online), www.elsevier.com/locate/jinsphys. diakses 20 November 2014.

Muliati, L. 2000. Pengaruh Strain dan Umur Jantan Terhadap Jumlah Turunan Jantan dan Betina Drosophila melanogaster. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang : Skripsi tidak diterbitkan
Pitnick. 1999. Evolution of Multiple Kinds of Female Sperm-Storage Organs in Drosophila. (online), (http://online.sfsu.edu/~gs/spicer/pages/spicerpdf/pitnick99.pdf), diakses tanggal 21 November 2014

Singh, Shree Ram & Bashisth N. Singh. 2003. Female Remating in Drosophila: Comparison of Duration of Copulation between first and second matings in six species. (Online), (http:// www.iisc.ernet.in/~currsci/feb102004/465.pdf), diakses 20 November 2014.